Ritus tahunan diseluruh dunia menyisakan sampah. Selebrasi yang kosong pemaknaan dan hiburan dihadirkan hanya menjadi popularisasi gaya hidup dan sebagai bagian budaya postmodern. Perayaan tahunan ini pemerintah lokal seperti Sidney di Australia yang menyediakan dana sekitar 70 Milyar untuk pesta kembang api, atau pemeritah lokal dikota-kota di Indonesia yang menyediakan panggung hiburan danpesta kembang api dengan tajuk car free night cukup ampuh untuk menarik masyarakatnya berbondong-bondong datang dengan keluarga atau teman. Ribuan orang memenuhi ruang-ruang publik. Pamrih kepentingan kolektif, waktu, uang, publik, dan ruang dipertaruhkan dalam selebrasi ini. Masyarakat yang mendamba hiburan yang membuai, dan selebrasi ini jelas memenuhi imagologi massa. Ekstase semalaman telah menghasilkan sampah..duh sampah apa saja ya? hehehe..
Perayaan dan pesta untuk menyambut pergantian tahun baru 2016 di pelbagai kota di seluruh dunia menimbulkan masalah pada setiap tahunya yaitu sampah tahun baru!. Tidak adanya kesadaran dari tiap individu untuk mengurangi polusi dan sampah menjadi masalah bukan saja pemerintah namun merugikan kelangsungan bumi ini. Banyaknya sampah yang berserakan dijalanan,taman-taman kota tentunya bukan saja merusak keindahan yang menjadi idaman. Di kota-kota besar terutamanya sampah menjadi masalah yang tak kunjung usai. Lihat saja berita pagi ini pemerintah DKI menerjunkan sekitar tujuh ribu personil untuk membersihkan sampah tahun baru. Volume sampah DKI dari 900 ton sampah tahun baru di perayaan tahun 2015 menjadi 700 ton pada perayaan tahun baru kali ini.
Sampah dan polusi selalu menjadi bagian akhir uforia. Salah satu alternatif sampah adalah dengan mendaur ulang sampah, meski masih terbatas pada individu, seniman atau beberapa kelompok pemerhati lingkungan saja. Bank sampah yang dikelola kelompok kecil didaerah jelas masih kurang menjadi solusi yang ampuhuntukmengurangi sampah. Atau seperti kelompok ibu-ibu yang mendaur ulang sampah menjadi barang-barang yang cukup untuk dipakai sendiri atau dipajang kembali dirumah seperti tas, atau hiasan dinding dan pernak-pernik lainya.
Meskipun barang dari bahan daur ulang terlihat menarik dari segi seni dan bernilai nominal tinggi namun pada sisi nilai jual pada barang-barang daur ulang yang dibuat oleh masyarakat biasa masih kurang mencukupi karena kurangnya peminat. Tidak saja di negara kita, kalau kita lihat negara-negara di belahan dunia seperti Jerman yang terkenal sebagai negara maju menurut sumber sebagian masyarakatnya masih binggung dengan pemilahan sampahnya. Tong-tong berwarna yang ada di setiap depan rumah di jerman mempunyai empat warna yaitu kuning untuk sampah kemasan,hitam untuk sampah rumah tangga, hijau untuk sampah daur ulang dan biru untuk sampah kemasan.
Sistem pemilahan dan daur ulang sampah di negara Jerman pemerintah menerapkan sistem "Der Grune Punkt" sebagai satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan pada tahun 1991. Sistem tersebut mewajibkan semua produsen menerima kembali pembungkus produk mereka seperti botol atau kardus pembungkusnya. Dan perusahaan Duale system Deutschland yang memperkenalkan system Der Grune Punkt kepada masyarakat, dan sebanyak 26 negara di Uni Eropa sudah memakai sistem ini.
Bagaimana dengan negara Indonesia? Tentunya untu menerapkan sistem DGP di negara kita cukup menguras biaya yang tidak sedikit. Masih ada masalah lain seperti kesehatan, pemerataan pembangunan dan pelbagai sistem yang perlu pembenahan. Tapi kemungkinan untuk merangkul dan bekerja sama dengan kelompok, organisasi lingkungan untuk membentuk organisme-organisme kemasyarakatan, melakukan penyadaran akan pentingnya pengolahan sampah, bekerja bersama mengolah sampah yang ada di sekitar lingkungan tinggal terdekat.
Pemerintah turut dan terjun membentuk bank bank sampah, membuat pengolahan sampah rumah tangga untuk kompos dan sebagainya. Solusi tersebut tidak sederhana namun tidak serumit dan semahal di eropa namun sekiranya cukup ampuh mengurangi sampah. Keberlangsungan bumi dengan peradabanya akan hancur jika kita tidak memulai untuk menjaga dan merawatnya dari sekarang. Butuh sensivitas rasa, empati dan simpati pada diri dan sesama dan tanah tempat lahir dan kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H