Lihat ke Halaman Asli

Mengkritisi Pemikiran Emha A Nadjib dengan Munajah Sulfik Wahyu NH Aly

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Tim Penulis*

Marut Negara yang terus melesat tanpa kompromi, semakin menggoda para ilmuan untuk berdialektika. Barangkat dari latar problematika Negara yang kian buram, kecamuk pemikiran meraimaikan vis a vis kenegaraan. Beragam sudut pandang saling tarik-ulur berkepanjangan. Dari agama, sosial dan lembaga lainnya menempel erat dalam tiap gebrakan yang dilakukan. Di sini, ditampilkan pemikiran dua budayawan yang cukup masif dalam menyampaikan visi kenegaraan melalui pendekatan agama, Emha Ainun Nadjib dan Wahyu NH. Aly.

Cak Nun, panggilan akrab Emha Ainun Nadjib, salah satu sastrawan sekaligus cendikiawan muslim, menelorkan pemikirannya dalam kancah keindonesiaan. Menjadikan retorika keislaman sebagai "alat pencongkel" kebenaran nan solutif, merupakan bagian dari langkah Cak Nun.

Sayangnya, retorika keislaman dari pemikiran Cak Nun dirasa tumpul dan banyak terkandung kesalahan. Hingga Negara yang harus disoroti sebagai keniscayaan, memaksa Islam untuk ikut apa kemauan negara. Alquran, Hadits sampai Metode Ijtihad sebagai panduan produk dari pemikiran Islam, tanpa disadari telah menghamba pada konteks kenegaraan.

Misal di dalam satu tulisan Cak Nun nampak jelas upaya menghilangkan agama dan menjadikan agama baru dalam negara; agama demokrasi. Cak Nun secara gegabah mengambil berkesimpulan bahwa "agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Cak Nun menginngatkan, untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.

Bila ditelaah, Cak Nun terlalu dangkal memaknai sebuah agama, khususnya Islam. Karena, demokrasi bukanlah kepercayaan ataupun keyakinan. Demokrasi juga bukan konsep yang di dalamnya mengandung ritual-ritual. Demokrasi hanyalah suatu sistem kenegaraan yang dibentuk oleh ego-refolusioner bangsa dalam mencipta negara yang sejahtera. Karena itu, tiap negara di dalam mengimplementasikan demokrasi beragam. Sedangkan agama memiliki jarak pandang yang lebih luas, mempunyai teks yang jauh dari jangkauan manusia. Sederhananya, sangat salah apabila menyetarakan agama dengan demokrasi, dan terlebih lagi sampai mengatakan demokrasi sebagai agama.

Teks Alquran yang -secara filosofis- menyuruh untuk berdemokrasi, sebagaimana dipijak oleh Cak Nun, berbicara mengenai sistem sosial yang otomatis ruang lingkupnya lebih kecil dari negara. Alquran menginginkan, demokrasi bukan hanya terlaksana didataran negara, melainkan sampai ke masyarakat. Maka pengertian demokrasi hanyalah sistem, sementara agama mecakup segala aspek, termasuk sistem.

Kelemahan pemikiran Cak Nun terlihat dari banyak sisi. Pertama, mencoba memasuki wilayah ijtihad namun tanpa memiliki dasar usul fikih yang komprehensif. Dalam teori usul fikih dikenal teori talfik, takhsis dan takhyir. Ketiga teori ini, harus dilalui oleh mujtahid dalam menentukan hukum atau kesimpulan. Hal ini mengingat, usul fikih merupakan pisau analisa yang logis dan sistematis dalam mencermati Islam, namun banyak kalangan yang sering melontarkan pemikiran keislaman belum menyentuhnya karena tingkat kesulitan di dalamnya yang membutuhkan pemikiran logis yang mendalam. Sementara yang dilakukan Cak Nun tidak demikian, karena dia hanya berlandaskan re-interpretasi dengan melupakan unsur usul fikih. Upaya reinterpretasi yang dilakukan Cak Nun tak jauh beda dengan kalangan fundamentalis-tekstualis, yang kajiannya hanya berpijak pada satu dalil ataupun satu kaidah saja yang segmen kajiannya tidak valid, pun untuk ushul fikih-nya.

Hal itu terlihat ketika Cak Nun mengkitisi tentang sosok pemimpin. Cak Nun mengambil dalil bahwa setiap negara diwajibkan memiliki pemimpin yang menguasai ilmu syariah islamiah. Kemudian Cak Nun menggunakan dalil tersebut sebagai "fatwa" apabila pemimpin tersebut harus berangkat dari ulama atau kiai. Mafhum mukholafah-nya, presiden-pun harus berasal dari ulama atau kiai atau tokoh agama. Jelas, interpretasi ini sangat lemah. Pasalnya dalam beberapa dalil lain dijelaskan, setiap pemimpin (cukup) memiliki tanggung jawab terhadap rakyat dan negaranya untuk menjadi pemimpin, bukan diukur dari kapasitas keilmuan Islam-nya.

Kedua, ada kesan "mengagungkan" pemikiran post-modern dalam memahami teks. Terlihat jelas dalam pemaparannya yang mengatakan, bahwa orang-orang non-muslim terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlage dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.

Cak Nun tertuntut untuk segera menemukan wajah modernitas dengan mengesampingkan sisi teks yang mejemuk. Pemikiran manusia -seakan- bisa mengalahkan multi teks yang bermakna luas. Corak pemikiran ini, biasanya menyorot teks secara hitam-putih. Tuhan memang memberikan keluasan berfikir, berimajinasi bahkan memutuskan hukum. Tapi hanya pada aspek-aspek tertentu yang memilik dinamika hubungan horizontal. Dengan kata lain, tidak bisa dilihat dengan dasar hitam dan putih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline