Lihat ke Halaman Asli

Lagu Anak dan Dunia yang Dirampas

Diperbarui: 27 Juli 2016   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak orang kini makin khawatir, anak-anak tak lagi mendengar dan menyenyikan lagu yang pantas. Perbendaharaan lagu anak-anak pun tak pernah bertambah secara signifikan, atau mungkin tak tecatat dalam ingatan. Lagu yang penah saya nyanyikan waktu kecil, kemungkinan besar akan sama dengan yang dinyanyikan anak saya di kemudian hai. Kereta api tut-tut-tut dan tukitakituk suara kakinya kuda.

Begitulah tampak di permukaannya. Tetapi sekalipun kami menyanyikan lagu yang sama, anak-anak sekarang tak bakal punya referensi dan konteks. Jika bernyanyi tentang menerbangkan layangan di tanah lapang – saya dan generasi saya dengan mudahnya membuat visualisasi dan bernostalgia. Untuk generasi sekarang, ahh..pikirkan sendiri.

Maka jika lagu anak-anak hilang dari peredaran dan anak-anak sendiri kurang minat menyanyikannya, kita mau menunjuk hidung siapa? Para pencipta lagu atau orang tua? Atau penyanyi cilik? Atau televisi? Pada akhirnya telunjuk kita dengan beratnya mengarah pada hidung sendiri.

Mungkin kita sudah membuat tanah lapang jadi belantara beton  atau jalur-jalau kali jadi tempat sampah, atau kebun buah-buahan dan gubug di sawah jadi tempat mesum dan huma di atas bukit jadi vila dan pesanggrahan mewah.

Kita pertama-tama telah meusak dunia tempat anak-anak bermain, dan olahraga tanpa gelanggang lua akhirnya menjadi olahraga indoor – demikianlah cara berpikikirnya. Sebab  pada akhinya anak-anak kita kehilangan tempatnya di dunia yang luas ini dan berebutan dengan orang yang lebih dewasa  berdevosi kepada semua yang manis dan manja dalam layar televisi.

Jika anak kita tak lagi menyanyikan lagu anak, mereka pantas mendapatkannya. Sebab lirik dan musik bisa dinyanyikan atau dimainkan. Tetapi dunia yang hilang dari setiap lagu itu tak akan terganti.

Mungkin si anak harus melihat di balik lemari atau masuk ke lubang kelinci untuk melihat Wonderland.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline