Sebelum membaca lebih jauh, hal pertama yang harus diketahui adalah tulisan ini merupakan cerita pribadi dari penulis dan tidak mewakili seluruh cerita dari mahasiswa kampus mengajar. Sehingga subjektifitas adalah hal mutlak pada tulisan ini.
Sebagai informasi awal, program Kampus Mengajar sudah mencapai angkatan yang ke-5, dimana setiap angkatan diisi oleh mahasiswa yang melakukan penugasan selama satu semester.
Melansir pernyataan dari Nadiem Makarim, total mahasiswa yang telah mengikuti program Kampus Mengajar selama lebih dari 2 tahun ini adalah 70.000 mahasiswa. Dimana pada angkatan 5 ini menjadi jumlah pendaftar terbanyak dengan mencatatkan angka sampai 43.121 mahasiswa.
Dari banyaknya mahasiswa yang mengikuti program ini, tentu saja penempatannya juga berbeda-beda. Ada mahasiswa yang menempati lokasi penugasan di sekolah daerah perkotaan, ada juga yang di pedesaan dengan fasilitas yang seadanya. Salah satunya adalah saya.
Per tulisan ini dibuat, total masa penugasan yang sudah dijalani adalah tujuh minggu. Tentu saja selama masa itu sudah banyak informasi yang kami himpun mulai dari sejauh apa kualitas siswa, tipikal dan karakteristik siswa, serta berbagai cerita menarik lainnya seperti urban legend yang ada di sekolah. Maklum saja, namanya juga sekolah dasar. Dimana-mana selalu ada, tak terkecuali saya dulu, hahaha.
Namun ada satu cerita yang menarik, yakni permasalahan tahunan sekolah yang notabene berada di daerah pedesaan jauh dari hiruk pikuk kota. Di sekolah tempat saya melakoni penugasan, masalah utama yang terjadi di sini adalah minimnya jumlah siswa yang mendaftar di SD ini.
Kemudian saya telisik lebih jauh kiranya apa yang melatarbelakangi hal tersebut, ternyata permasalahannya cukup kompleks. Mulai dari masyarakat yang sudah memiliki mindset untuk tak memiliki banyak anak, masyarakat yang lebih memilih pendidikan berbasis agama, hingga persaingan sekolah untuk mendapatkan siswa.
Nah hal terakhir ini yang cukup menarik perhatian saya. Saya kira hampir di setiap SD yang ada di desa juga memiliki permasalahan yang sama. Ketika jumlah pendaftar hanya sedikit, maka akan muncul upaya untuk bersaing dengan sekolah lain.
Selain saling berusaha untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tiap sekolah, mereka biasanya juga bersaing untuk melakukan pendekatan personal kepada orang tua calon siswa yang ada.
Pada kasus sekolah saya, masyarakat yang bertempat tinggal disini adalah masyarakat yang berbasis agama. Kehadiran sekolah yang berbasis pada hal keagamaan dalam satu desa yang sama mendorong para orangtua untuk menyekolahkan anaknya di tempat tersebut.