Perjalanan dari Jogja menuju Kota Salatiga melalui darat memakan waktu tempuh sekitar 3 jam. Ada beberapa rute yang dapat dilewati, tapi aku melewati Klaten, Solo, Boyolali, barulah sampai ke Salatiga.
Ketika aku melewati Klaten, mataku disuguhi oleh hamparan sawah begitu luas yang mulai menguning. Sebuah pemandangan yang sangat jarang kudapati ketika di Dumai, iya maklum saja Dumai lebih terkenal sebagai Kota Industri. Pamanku yang sedang menyetir mengatakan jika Klaten adalah salahsatu lumbung padi Nasional, dan aku baru tahu itu.
Setelah tiga jam akhirnya aku sampai di Salatiga. Kedatanganku di Salatiga disambut oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang posisi hormat. Aku bertanya-tanya kenapa Jenderal Sudirman bisa ada di sini? Hmm.. aku berpikir agak lama akan hal itu, tapi tak kutemukan jawabannya.
Ada hal lain yang membuat mataku tak melepaskan pandangan menatap keluar jendela, yaitu penampakan Gunung Merbabu. Berdiri dengan gagah, kebiru-biruan tampak dari kejauhan, sungguh Merbabu menampakkan pesona indahnya.
Seperti yang kita ketahui bersama, Gunung merbabu merupakan Gunung tipe Strato. Merbabu telah tiga kali mengeluarkan muntahannya sebanyak tiga kali hingga pada akhirnya ia didiagnosa mati. Letaknya yang berdekatan dengan Gunung Merapi yang kokoh, Gunung Sumbing, dan Gunung Sindoro. Ketiga Gunung ini seakan mengeliling Gunung Merbabu yang tentunya menambah pesona Merbabu.
Pejalananku belum menemukan akhir ternyata, masih harus menulusuri aspal beberapa kilometer lagi. Setelah cukup lama akhirnya aku sampai di Desa Gogodalem, dimana tempat Embahku dibesarkan bersama ketiga saudaranya.
Roda-roda besi berhenti tepat didepan sebuah rumah berdindingkan kayu, dan desain rumah yang begitu sederhana. Pintu rumah itu terbuka, tak lama kemudian muncul sesosok laki-laki berkulit keriput, mengenakan sarung dan peci. Ternyata itu Embah Diri adiknya Embah ku.
Aku dipersilahkan masuk lalu disuguhi teh hangat, seumur hidupku ini kalipertama aku bertemu dengan saudara yang ada di Jawa. Mataku mencari-cari ketiap sudut rumah, begitu sederhana, namun aku merasakan kenyamanan.
Aku bertanya pada Embah Diri, kenapa rumahnya tidak di pugar diganti dengan dinding batu saja. Beliau menjawab dengan tenang, bahwa rumah ini tidak diubah dan memang sengaja dipertahakan bentuk aslinya sesuai pesan kedua orangtua Embah.
Waktu semakin larut, dan aku memasukkan barang-barangku ke kamar untuk segera istirahat, karena besok sore aku sudah harus kembali lagi ke Jogja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H