17 Agustus 1945 adalah tanggal yang sakral bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, disaat itulah bangsa ini menentukan nasibnya sendiri lewat proklamasi yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Bulan Agustus kali ini Indonesia genap berusia 72 tahun. Terjalnya perjalanan menata negeri ini seakan belum berhenti. Demikian ruang 'kemerdekaan' yang ada, ternyata masih belum sepenuhnya memberikan arti merdeka yang sesungguhnya pada bangsa ini.
Diusianya yang hampir satu abad, negeri ini masih harus tertatih dalam memaknai kemerdekaan pasca revolusi fisik. Kita memang tak diserang dengan peluru tajam. Kita memang tak dibombardir dengan percikan api meriam, tapi sendi-sendi kehidupan bangsa ini mulai lupa akan jati diri ibu pertiwi.
Merdeka, bukanlah sebongkah batubata yang menjadi rumah hari ini.
Merdeka, bukanlah sebulir nasi yang kita makan hari ini.
Merdeka, bukan pula selembar uang yang ada di kantong hari ini.
Merdeka, tak lagi raga tapi jiwa.
Lalu, mengapa merdeka?
Rekan-rekan ku, ingatlah Ir. Soekarno pernah berkata, "Manusia yang merdeka adalah manusia yang terbebas dari rasa iri, dengki, srei, dahwen, panasten dan patiopen. Sehingga menjadi manusia yang selalu setiti, nastiti, surti dan hati-hati". "Manusia yang merdeka bukan manusia yang hanya mampu bersikap baik, juga bukan manusia yang hanya mampu bersikap bijaksana, tapi adalah manusia yang mampu bersikap bajiksana!"
Sekali lagi, mengapa merdeka?
Karena merdeka bukanlah korupsi yang makin merajalela. Bukan pula ekonomi yang makin tumbuh pesat. Merdeka bukan arogansi untuk meraih jabatan dan kekuasaan. Merdeka tidak membutuhkan perkelahian, hinaan dan cacian.