Lihat ke Halaman Asli

Aditya

Mahasiswa Sosiologi

Pendidikan Keras atau Tanpa Kekerasan?

Diperbarui: 29 April 2017   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber Gambar: Kompasiana)

Indonesia yang  telah merdeka selama 71 tahun masih berjibaku dengan sejumlah permasalahan, salah satunya adalah dibidang pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu prioritas bagi tujuan negeri ini, karena tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan nasional Indonesia. Berbicara pendidikan maka tak lepas dari sosok guru, menurut UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 Guru ialah seorang pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Guru memegang peranan strategis dalam upaya membentuk watak bangsa ini melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan (Ali Mudlofir 2012:62). Dari dimensi tersebut sosok guru sulit digantikan oleh orang lain. Sedangkan dari dimensi pembelajaran, peranan guru dalam masyarakat tetap dominan meski tekonologi yang digunakan untuk proses belajar mengajar berkembang pesat.

Saat ini kita sedang berada di pusaran hegemoni media, revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEKk) yang tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan bagi manusia modern, tetapi juga menghadirkan sejumlah persoalan dan keresahan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengurangi bahkan menghilangkan nilai kemanusiaan atau yang disebut dehumanisasi (Syamsul Kurniawan 2016:17).

Thomas lickona mengungkapkan sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini terdapat dalam suatu bangsa, berarti bangsa tersebut sedang di tebing jurang kehancuran. Tanda-tanda tersebut diantaranya pertama, meningkatnya kekerasan dikalangan remaja. Kedua, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk. Ketiga, pengaruh peergroup yang kuat dalam tindak kekerasan. Keempat, meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan perilaku seks bebas. Kelima, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. Keenam, menurunnya etos kerja. Ketujuh, semakin rendahnya rasa hormat pada orang tua dan guru. Kedelapan, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara. Kesembilan, membudayanya ketidakjujuran dan kesepuluh adanya saling curiga dan kebencian diantara sesama.

(Sumber Gambar: Tribunnews)

Diakui, disadari atau tidak, perilaku masyarakat kita saat ini terutama remaja dan anak-anak sangat memprihatinkan, karena mengarah apa yang dikhawatirkan Thomas Lickona. Dalam kasus-kasus tertentu guru banyak mendapat banyak cacian, kritikan bahkan tindak kekerasan. Seperti yang terjadi pada tahun 2016 di SMKN 2 Makassar, Dasrul seorang guru menegur salah satu muridnya namun murid tersebut malah memaki sang guru dengan kata-kata kasar Makassar, guru kemudian menampar tanpa tenaga yang kuat dan tidak berbekas dengan maksud mendisiplinkan. Anak tersebut mengadu ke orangtua nya, Adnan Ahmad orangtua murid tersebut kemudian datang kesekolah dan memukuli Dasrul hingga menglami luka-luka dan patah tulang di bagian ujung hidung.

Kasus diatas tentu membuka mata kita bahwa di negeri ini sedang terjadi kemerosotan moral, dan membuat kita sadar bahwa ada kegagalan pendidikan yang diterapkan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam hal menumbuhkan remaja dan anak-anak ynag berakhlak mulia. Lalu bagaimana kita mampu mengatasi permasalahan kemerosotan moral ini? Cara nya ialah dengan pendidikan karakter dilingkungan keluarga. Mengapa keluarga? Karena keluarga mempunya fungsi pendidikan, yang mana keluarga ialah lembaga terkecil dalam sebuah masyarakat dan awal dari seorang individu mendapatkan sosialisasi sebelum mengenal lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah.

(Sumber Gambar: Pinterest)

Sebagai lingkungan yang lebih dekat dengan anak, keluarga mempunyai peluang besar dalam pembentukan karakter mulia anak, dari kedua orangtua nya ia mendapat pengarahan moral dan pebentukan kepribadian. Bahkan waktu seorang anak lebih banyak dihabiskan dilingkungan keluarga ketimbang di lingkungan lainnya. keluarga yang harmonis, rukun, dan damai akan memengaruhi kondisi prikologis dan karakter seorang anak. Begitupun sebaliknya, anak yang kurang berbakti bahkan melakukan tindakan diluar moral kemanusiaan, dibidani oleh ketidakharmonisan dalam lingkungan keluarga (Agus Wibowo 2012:11).

(Sumber Gambar: puncakjayakab)

“Kulit dari pendidikan itu memang pahit, namun buahnya sangatlah manis dan aromanya wangi”.

Berangkat dari kalimat tersebut yang namanya pendidikan memanglah keras. Keras dalam arti membentuk anak menjadi individu yang tangguh, dan tidak mudah mengeluh pada kehidupan. Pendidikan yang diterapkan dulu dengan saat ini berbeda, dulu pendidikan dimaksud mendidik manusia agar tumbuh mempunyai akhlak yang baik, mengajarkan budi pekerti, etika, mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Ketika murid terlambat, tidak membuat PR, dan berbuat kesalahan lainnya, murid tak jarang dipukul menggunakan rotan, tetapi pendidikan saat dulu menghasilkan generasi-generasi yang cerdas dengan adanya pendidikan keras tersebut.

Namun sekarang ini pendidikan lebih berorientasi kepada bagaimana menonjolkan siswa atau muridnya dari segi kecerdasan dan memandang karakter dan moral siswa tidak begitu penting. Sekolah-sekolah berlomba menerapkan kurikulum demi menghasilkan generasi-generasi yang cerdas. Pendidikan ini telah kehilangan misi utamanya ditambah dengan adanya UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 20014 PASAL 15, setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:

  • Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
  • Perlibatan dalam sengketa bersenjata;
  • Perlibatan dalam kerusuhan sosial;
  • Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
  • Perlibatan dalam peperangan, dan
  • Kejahatan seksual.

UU tersebut seolah memanjakan siswa dan memberikan mereka kekebalan terhadap hukuman yang diberikan oleh guru ketika mereka melakuka kesalahan dan memerlukan hukuman untuk memberikan efek jera terhadap siswa. Lihat hasilnya, siswa semakin tidak sopan terhadap guru dan para siswa bermental tempe, apabila diberi tugas oleh guru sedikit lebih sulit para siswa mengeluh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline