Lihat ke Halaman Asli

Aditya Hehanussa

Selebihnya tentangmu | WA:081248908542

Mencoba Untuk Memutar Waktu

Diperbarui: 26 November 2020   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi hampir tiba dan kita masih bercanda diwaktu yang menurutku semakin sempit untuk candaan kita yang belum usai. Aku selalu meyakinkanmu bahwa kita masih punya banyak waktu untuk berduaan. Mungkin aku adalah pendengar paling setia untukmu, atau malah akulah yang terbaik. Karena, dikala kita bersamaan disitulah aku selalu mendengarkan setiap  keluhmu dengan rasa gembira, aku mendengarnya tanpa sedikitpun menyela. Namun, aku selalu mendengarkan tanpa sedikitpun didengarkan.

Tapi itu bukan alasan bagiku, karena setiap di akhir cerita yang kamu sampaikan, selalu terlukis senyum manis di bibirmu. Senyuman yang menandakan bahwa sedih dan tangismu sudah terurai. Sesederhana itu bahagiaku. Aneh memang.

“bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyaku sambil memegang erat tangan dan pipinya yang begitu dingin, sontak ia pun tersenyum begitu merasakan kehangatan yang aneh.

Aku pikir ini hanya pura-pura agar dia yakin, kalau aku bisa menjadi kehangatan untuknya, bahkan aku bisa menjadi apapun yang dia butuhkan, aku Bahagia menjadi orang lain yang bahkan tidak aku suka, semua itu hanya demi memastikan bahwa bahagiamu utuh dan disitulah bahagiaku terbentuk.

Kehilangan diri sendiri hanya karena bahagiamu menurutku itu tak masalah,setidaknya aku adalah satu-satunya orang yang selalu menemanimu meskipun tak pernah ada balasan dari keyakinanku sendiri. Sedangkan, orang yang tiba-tiba datang lalu menyapa harimu tanpa berpikir apapun, ia menurut kau adalah segalanya.

 Tak adil melihat semua itu. Rasanya, aku ingin meminta imbalan bahkan tanggung jawab atas perlakuanmu, tapi tak mungkin aku menganggu keutuhan hatimu yang memang itu keinginnanku untuk melihatya. “Dasar gablok, kok aku mau kayak begini terus?” tanyaku dalam hati. Dan pada akhirnya, semua yang telah kulakukan selama ini, hanya sebuah lagu tanpa lirik, sebuah nyanyian tanpa suara. Tapi kamu mengakui aku memang ada, ada ketika kesedihan mulai menghampiri senyummu.

Entah sampai kapan perjuanganku untuk mempertahkanmu, padahal sudah jelas kamu tak pernah sadar kalau aku masih ada, tepat di hadapanmu. Percayalah, aku bukannya belum menemukan waktu yang tepat, tapi aku takut untuk mengulang waktu yang pekat. Aku juga belum siap untuk patah hati diwaktu yang sama.

“Aku selalu percaya bahwa, kenangan sepahit apapun itu bukanlah untuk dilupakan, tapi untuk di ingat, bahkan dengan persepsi yang tidak menyakitkan,” tuturku sambil menatap matanya.  Bagiku, seburuk buruknya masa lalu, dia adalah panutan yang mengajarkan aku dengan caranya yang manis dan pahit agar seseorang yang kelak aku tau bahwa dia adalah cinta sejatiku, bisa mendapatkan aku dalam versi yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline