Setelah melewati masa transisi selama tahun 2020, tahun ini, per Januari 2021, Britania Raya resmi keluar dari keanggotaannya di Uni Eopa. Jauh sebelum ini, tepatnya pada tahun 2016, dunia untuk pertama kalinya dihebohkan oleh hasil referendum Britania Raya yang memutuskan akan memisahkan diri dari negara-negara Uni Eropa. Hasil referendum ini pun menarik banyak perhatian dan mendapat tanggapan dari berbagai kalangan pada masa itu.
Beberapa dari mereka melihat hasil referendum tersebut sebagai aksi sabotase diri atau melukai diri sendiri. Mereka juga menghawatirkan tentang masa depan bahasa Inggris sebagai bahasa global. Bahkan, secara dramatis mereka mempertanyakan, apakah ini adalah awal dari keruntuhan bahasa Inggris?
Menanggapi kekhawatiran itu, Ingrid Piller, seorang linguis dari Macquarie University menulis sebuah artikel yang ia beri judul, "Have we just seen the beginning of the end of English?"
Dalam artikel tersebut, Ingrid mengajak kita untuk melihat kembali bagaimana bahasa-bahasa global di masa lalu kehilangan pengaruhnya, kemudian mengajak kita bertanya pada diri sendiri, apakah peristiwa Brexit adalah pertanda awal mula runtuhnya bahasa Inggris sebagai bahasa global?
Bahasa Inggris dan bahasa lain yang pernah menjadi lingua franca di masa lalu bisa menyebar secara luas dan mendapat statusnya sebagai bahasa transnasional karena ekspansi yang dilakukan oleh penutur aslinya untuk memperluas wilayah kerajaannya. Namun, sejarah menunjukkan bahwa bahasa transnasional tidak selalu surut bersama dengan keruntuhan kerajaan yang menyebarkan bahasa itu.
Bahasa Inggris, sejauh yang kita lihat, tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan sejak berakhirnya kerajaan Britania pada pertengahan abad ke-20. Sebaliknya, pembelajaran bahasa Inggris secara global justru berkembang semakin kuat sejak masa itu.
Ketika suatu kerajaan mati, bahasanya mungkin tidak lagi digunakan sebagai bahasa transnasional, namun tetap akan digunakan sebagai bahasa asli oleh kelompok yang dulunya dominan. Bahasa Inggris, tentu akan terus digunakan sebagai bahasa ibu di Inggris dan negara lain yang berbahasa Inggris. Namun, apakah penutur bahasa lain akan tetap mempelajari bahasa Inggris secara antusias seperti saat ini?
Dalam penelitiannya tentang nasib lingua franca setelah kejatuhan kerajaan, Nicholas Ostler (2010) berpendapat bahwa kelangsungan hidup bahasa tersebut sebagai bahasa transnasional bergantung pada keberhasilan pembaruan kampanye pemasaran pasca runtuhnya kerajaan, baik secara implisit maupun eksplisit.
Sebagai contoh, bahasa Latin tetap bertahan sebagai bahasa transnasional setelah kejatuhan kekaisaran Romawi. Bahasa Latin tetap digunakan secara luas karena dua hal: pertama, bahasa ini menjadi bahasa Gereja Katolik yang menjadikannya sebagai bahasa transnasional keagamaan selama kurang lebih dua ribu tahun.