Resesi tahun 2023 menjadi topik hangat diperbincangkan oleh kalangan masyarakat. Seolah-olah tahun 2023 sangat mengerikan bagi perekonomian dunia sehingga orang-orang mempersiapkan diri untuk menghadapi resesi ini dengan caranya masing-masing. Banyak permasalahan yang terjadi belakangan ini yang membuat para ekonom memprediksi bahwa tahun 2023 menjadi tahun yang gelap bagi perekonomian.
Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani "Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang merupakan penggerak perekonomian berpotensi mengalami resesi pada tahun 2023," jelasnya pada saat menyampaikan pidato di dalam pengesahan Undang-Undang APBN 2023 (29/9/2023).
Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), resesi adalah kelesuhan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti); menurun (mundurnya,berkurangnya) kegiatan dagang (industri). Sehingga dapat disimpulkan secara teknikal, resesi ekonomi adalah ketika aktivitas perekonomian mengalami penurunan dalam waktu lama yang berakibat kepada masyarakat.
Saat terjadi resesi, perekonomian menjadi lesu yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 0 persen bahkan bisa menjadi minus. Secara garis besar penyebab resesi 2023 menurut para pakar ekonom adalah kemacetan kredit properti di China, perang Rusia-Ukraina, dan juga kenaikan suku bunga The Fed. Artikel ini akan membahas bagaimana kenaikan suku bunga The Fed dapat menyebabkan resesi Amerika Serikat bahkan dunia.
- Penyebab Dinaikannya Suku Bunga
Covid-19 menyebabkan pertumbuhan ekonomi di dunia menurun sehingga menghambat rantai pasok (supply chain disruption) yang berakibat kepada inflasi di negara Amerika Serikat. Ditambah konflik Rusia-Ukraina memperburuk perekonomian negara-negara Uni Eropa dan Amerika yang sangat mengandalkan perdagangan internasional.
Kekurangan supply energi dan pangan dari Ukraina dan Rusia membuat negara-negara Uni Eropa dan Amerika kesulitan dalam produksi guna memenuhi demand masyarakat. Padahal Uni Eropa dan Amerika membutuhkan pasokan energi yang cukup banyak untuk membangkitkan perekonomiannya yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Kekurangan supply akibat produksi terhambat dan meningkatnya demand masyarakat yang akan menghadapi winter di Amerika menyebabkan inflasi Amerika meningkat secara tajam. Merespon kenaikan inflasi tersebut, The Fed menaikan suku bunga yang sampai hari ini Jumat (28/10) The Fed sudah menaikan suku bunganya sampai 5 kali pada tahun ini saja.
Mengutip dari Kompas.com kenaikan Fed Fund Rate ini ditetapkan pada tanggal 17 Maret sebesar 25 bps, 5 Mei sebesar 50 bps, dan sebesar 75 bps pada 16 Juni, 28 Juli, dan 22 September. Melihat data dari id.tradingeconomics.com The Fed menaikan suku bunga yang semula pada Februari 2022 sebesar 0,25% menjadi 3,25% pada saat ini sebelum akan diprediksi naik lagi pada 3 November 2022. Sampai pada puncaknya diprediksi akan mencapai 4,6% pada akhir tahun 2023.
Akibat Dinaikannya Suku Bunga
Kenaikan suku bunga oleh The Fed diharapkan dapat mengurangi jumlah uang beredar sehingga inflasi dapat ditekan. Kenaikkan suku bunga ini membuat investasi pada Surat Obligasi Amerika Serikat lebih menggiurkan ketimbang instrumen investasi lainnya apalagi yang high-risk seperti saham atau crypto currency. Menyimpan harta pada bentuk USD juga lebih menguntungkan apalagi USD menjadi mata uang paling populer digunakan di dunia.
Menurut data International Monetary Fund (IMF), cadangan devisa negara-negara secara global sebanyak 59 persennya dalam bentuk USD. Sehingga kenaikan suku bunga ini menyebabkan kenaikan permintaan terhadap USD akan semakin meningkat. Maka dari itu, nilai USD juga akan meningkat dengan begitu inflasi dapat diturunkan.