Lihat ke Halaman Asli

Aditya Prahara

TERVERIFIKASI

Raibnya Sila Kelima

Diperbarui: 11 Januari 2016   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Pancasila"][/caption]Pagi ini upacara bendera seharusnya berjalan seperti biasanya. Terik matahari begitu menyengat kulit. Hembusan angin cukup menyegarkan tapi tak menyelamatkan kami dari kejenuhan. Kejenuhan yang terus terpelihara karena upacara bendera tak merasuk ke dalam hati.

Guru-guru terlihat tak memiliki semangat untuk melaksanakan upacara. Beberapa memasang senyum merana atau bahkan ada pula yang tidak sudi bibirnya dikunjungi oleh senyuman. Seperti biasa, dengan sangat sempurna, setali tiga uang para siswa bermuka tegang seolah dahi mereka dicium moncong senapan.

Seperti biasa, Kepala Sekolah menjadi pembina upacara pagi ini. Seperti biasa pula, sebelum memberi amanat, pembina upacara akan membacakan Pancasila.

Seorang siswa petugas pembawa teks Pancasila dengan takzim menyerahkan map berisi teks yang sedari tadi ada di tangannya. Kepala Sekolah mulai membacakan teks dalam map yang sudah dipegangnya dan diikuti oleh seluruh peserta upacara. Di sinilah ketidakbiasaan itu bermula.

“Pancasila,” baca Kepala Sekolah.

“Pancasila,” tiru peserta upacara secara serentak dan riuh.

“Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa.”

“Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Seterusnya kami membaca bersama sampai sila kedua, ketiga, dan keempat.

“Empat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

“Empat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline