Lihat ke Halaman Asli

Aditya Nuryuslam

Menikmati dan Mensyukuri Ciptaan Ilahi

Mencermati Ketangguhan Warung "Mak Ibenk" Dalam Menghadapi Resesi dan Pandemi

Diperbarui: 26 September 2023   12:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.digination.id/read/016545/transformasi-digital-toko-kelontongwarung-lewat-mitra-tokopedia

Berbicara tentang ekonomi kerakyatan dan secara psikologi merupakan pengejawantahan dari usaha mikro, kecil dan menengah di tengah masyarakat selalu ada hal yang menarik untuk digali dan di eksplorasi. Warung atau toko kelontong atau waserda alias warung serba ada yang muncul di tengah komunitas masyarakat secara tidak langsung menjadi sektor informal yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

Warung tradisional menjadi item penyambung distribusi barang dari pasar besar atau distributor atau wholeseller ke end usser alias masyarakat. Warung menjadi unit unit distribusi mini yang melayani beragam kebutuhan masyarakat di sekitarnya dengan kemampuan finansial yang terbatas. Warung juga mampu menjadi agent penghubung antara basic need masyarakat dengan supply yang dimiliki oleh produsen.

Peran warung tradisional sekarang "terasa" termarjinalisasi dengan munculnya minimarket - minimarket yang masuk dan merengsek sampai di sudut-sudut kampung. Kekuatan modal minimarket yang "unlimited" ini memang cukup membuat eksistensi warung agak terdesak dalam mengukopansi market. Namun demikian, seiring dengan perjalanan waktu, memang akhirnya market tersegmentasi dalam keseimbangan pasar yang baru.

Terbukti sampai dengan saat ini, peran dan eksistensi warung, rombong rokok, warung serba ada, masih terdeteksi keberadaannya. Warung tetap bisa survice dengan melakukan beragam inovasi dan perubahan dalam pelayanan kepada konsumen, namun tidak merubah wujud asli dari warung rakyat yang space tempat usahanya terbatas, sedikit kumuh dan aneka ragam jenis dagangannya, bahkan kadang terlihat penuh sesak di etalasenya. Warung juga terbukti mampu eksis karena memiliki keterikatan psikologis yang kuat dengan konsumen yang notabene adalah tetangga sekitar warung.

Beberapa inovasi barang dagangan dan pelayanan warung saat ini yang fundamental adalah berani menekan jumlah pembelian yang secara kredit alias bon. Ini adalah penyakit paling kronis dan mematikan bagi kelangsungan hidup warung. Selain itu juga perbaikan manajemen pengelolaan warung terlihat juga semakin membaik artinya pemilik warung sudah mulai aware atau peduli dengan pembukuan sehingga bisa melakukan pemisahan antara modal usaha dengan kas pribadi. Model kongsi atau penyertaan barang model tempo (produsen nitip barang dagangan di warung dan akan dilunasi setelah 2 minggu, kalau tidak habis bisa diperpanjang atau diganti produk lainnya yang mungkin lebih laku).

Salah satu success story bagaimana warung serba ada sebagai satu entitas ekonomi kerakyatan yang tahan resesi dan pandemi adalah warung mak ibenk. Warung mak ibenk yang saya kenal mulai beroperasi melayani masyarakat sekitar sejak tahun 2000 an, sampai sekarang masih bisa bertahan, tidak membesar namun juga tidak pernah bangkrut atau pailit. Hal yang saya lihat memang, warung ini mampu membaca pasar dan memenuhi kebutuhan masyarakat di kampung kami. Mak ibenk juga cukup lugas terkait dengan bon atau pembelian secara kredit. 

Sebagaimana dengan warung-warung lainnya, warung ibenk juga mengalami beragam tantangan mulai dari menjamurnya minimarket rasa warung modern yang infiltrasinya hingga ke kampung-kampung, resesi ekonomi, resesi global hingga munculnya pandemi covid-19. Warung ibenk masih bisa bertahan dikala banyak warung-warung yang berguguran dan jatuh pailit. Inovasi yang dilakukan warung ibenk adalah melakukan delivery service untuk pelanggan warung loyal dengan pembelian dalam jumlah tertentu.

Satu hal yang menarik dari warung, dan tidak dimiliki oleh minimarket modern adalah, warung menjual produk-produk umkm yang tidak bisa masuk ke waralaba. Faktor kepercayaan dan juga merupakan alternatif konsumsi masyarakat ini turut menopang keberlangsungan hidup umkm selaku produsen dan warung itu sendiri. Bayangkan saja, warung mampu menyediakan barang yang tidak dijual di minimarket modern seperti menjual layang-layang dan benang layang. Belum lagi, warung menjadi muara penjualan beberapa produk makanan olahan dalam kemasan yang diproduksi usaha-usaha rumahan. Warung juga memiliki fleksibilitas dalam menjual produknya dalam bentuk eceran ataupun per liter.

Saya dan mungkin adalah gambaran umum masyarakat juga akan lebih memilih membeli di warung atau toko kelontong di dekat rumah, dengan pertimbangan : pembelian dalam jumlah yang sedikit atau eceran (misalnya beli rokok bisa beli per batang), lebih dekat dengan rumah letaknya dan juga faktor emosional yaitu kenal dengan pemilik warung dan berbagi rejeki. Hal lain yang pastinya bernilai ekonomis adalah ngga perlu bayar parkir seperti kalau kita belanja di waralaba atau minimarket.

Segmentasi pasar yang sudah terbentuk juga memberikan dampak positif terhadap kelangsungan hidup warung dan toko kelontong di tengah masyarakat. Namun demikian, masih ada beberapa pekerjaan rumah bagi warung-warung tradisional ini untuk bisa bertahan kedepannya adalah sudah atau tidaknya mulai mengadaptasi pembayaran secara non tunai. Hal ini perlu diperhatikan juga mengingat, dalam waktu kedepan masyarakat mulai bermigrasi dari penggunaan uang cash menjadi uang digital, atau lebih sering kita kenal dengan non cash. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah pemilik warung harus lebih jeli dalam memilih partner supplier, agar tidak mendapatkan produk dagangan dengan kualitas rendah atau malah sudah expired.      

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline