Lihat ke Halaman Asli

Waktu Tanpa Sebab

Diperbarui: 29 Juni 2016   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketika di pagi hari udara pagi tampak erat menyelimuti hari-hari itu, bahkan matahari yang terkadang di tutupi awan namun sekarang mulai menunjukan sinarnya. Kicauan burung ikut meramaikan suasana pagi. Di saat itu pun aku berjalan mengitari lorong ruangan serta pikiran kosong entah apa yang tempat yang aku tuju. Jam menunjukan pukul 07.00 pagi, dan tepat pada acara masa orieantasi siswa segera berlangsung. Aku baru menyadarinya  langsung mulai bergegas dan langkah kaki pun mulai aku percepat.

Aku memandang kedepan terdapat suana gaduh para siswa mulai terdegar dari ruangan yang kutuju. Nampak beberapa guru yang sedang menyampaikan informasi. Dan aku langsung menempati tempat paling depan. Aku letakkan tas sejenak dan duduk berbaris meskipun nafas tidak teratur. Ku memandang kedepan dan mendengarkan beberapa informasi yang diberikan. Pikiran mulai tidak fokus, tapi aku melihat depan pandangan sejenak. Entah apa yang aku lihat tiba-tiba suanana hati mulai berubah bahkan senang. Aku mulai penasaran apa yang ku lihat, ternyata ada seseorang bahkan aku terbawa dengan aura tersebut. Rambut lurus dengan gaya rambut poni, wajah oriental, dengan mata yang indah seperti berlian. Kemudian aku berkata pada diri “Apakah itu peri cantik?” aku pun mulai berpikir kemana-mana terbawa olehnya, namun aku menjawab pertanyaan tadi,  “Bukan itu orang yang mempunyai kelebihan bahkan aura lebih”. Rasa ingin tau pun muncul seketika. Dia masih duduk dengan menyangga kepala dengan tangannya dan diam  fokus memperhatikan kedepan meskipun sekitarnya tampak gaduh. “Apakah dia pendiam ?” rasa ingin tau pun muncul seketika.

Sinar matahari yang menunjukan teriknya seakan-akan waktu cepat berlalu, suasana gaduh sekarang menjadi diam dan batas waktu mulai habis. Seakan akan waktu mepercepat dengan sendirinya. Di saat mulai beranjak meninggalkan ruangan tersebut keadaan mulai berubah dan aku pun memutuskan untuk pulang. Debu mulai menghiasi jalan dengan asap para pengendara, aku pun mempercepat langkah untuk mencari kendaraan untuk menuju ke rumah. Dan akhirnya kuputuskan untuk menggunakan bis. Meskipun terdapat beberapa orang pasar serta kumuhnya tempat dan panasnya suasana dalam bis tersebut. Sempat belum terbiasa dengan keadaan itu ku urungkan untuk mengeluh. Setiap usaha untuk mencapai tujuan diinginkan  mempunyai hambatan tersendiri, sama halnya hidup.

Suara mesin bis mulai terdengar untuk menjalankan mesinya meskipun menunggu beberapa menit. Namun masih menunggu penumpang seakan-akan supir bis belum puas. Dari kejauhan ada seoarang wanita yang menuju bis dengan berjalan sendirian dan raut muka capek. Namun orang itu ternyata yang ada di dalam ruangan tadi dan aku  terenyeh seketika. Keadaan bis yang mulai tidak karauan dan desakan dari penumpang lain mulai dia cuman diam tanpa mengeluh sama sekali meskipun berdiri. Rasa empati mulai ada seakan kursi yang aku tempati ingin aku berikan olehnya. Dengan keadaannya yang mulai kecapekan tersebut. Setelah bis mulai berjalan dan berkurangnya para penumpang dia akhirnya mendapat kursi. Ku niatkan untuk bertanya lebih lanjut mengenai latarbelakangnya. Namun seakan-akan ketidakberuntungan tidak berpihak dan dia mulai meninggalkan tempat duduknya serta meninggalkan bis. Namun aku tidak berkecil hati untuk mengetahui dan bahkan lebih untuk mengenalnya.

Hari demi hari telah belalu dan ternyata......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline