Pendahuluan
Virus Corona atau Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit akibat infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus Corona dapat menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang parah, hingga kematian. Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) atau yang lebih dikenal dengan virus Corona merupakan jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Meski lebih sering menyerang orang tua, virus ini sebenarnya bisa menyerang siapa saja, mulai dari bayi hingga anak-anak hingga orang dewasa, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui. Infeksi virus Corona disebut COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) dan pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Virus ini menyebar dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara termasuk Indonesia di hanya beberapa bulan.
Dalam konteks pandemi Covid-19, kewajiban negara antara lain memastikan bahwa tindakan pencegahan, peralatan, layanan, dan informasi tersedia dan dapat diakses oleh semua orang. Dalam hak atas kesehatan, alat, fasilitas dan pelayanan kesehatan harus tersedia dalam jumlah yang cukup, dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi, menghormati etika kedokteran; serta tepat secara ilmiah dan medis serta berkualitas baik. Peralatan dan layanan kesehatan harus dapat diakses oleh semua orang, terutama yang paling rentan atau kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat, dalam jangkauan fisik yang aman untuk semua masyarakat tanpa terkecuali; dan terjangkau untuk semua dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus karena jenis kelamin, usia, kecacatan. Hak ini juga mencakup aksesibilitas informasi terkait kesehatan.
Salah satu upaya preventif yang dilakukan pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Hukum dan HAM untuk menekan penyebaran virus corona adalah dengan memberikan pembebasan bersyarat kepada narapidana. Pembebasan bersyarat merupakan hak narapidana yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dalam penjelasan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa waktu pembebasan narapidana setelah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya dua pertiga dengan ketentuan dua pertiganya tidak kurang dari 9 ( sembilan) bulan. Padahal, pembebasan bersyarat bukanlah prosedur yang mudah dan cepat, memakan waktu lebih lama. Hal ini disebabkan adanya kejanggalan dalam proses pemberian pembebasan bersyarat.
Mengumpulkan uang dari narapidana sebagai bentuk penghargaan kepada sipir merupakan salah satu bentuk kejanggalan dalam proses pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana. Hal ini tentu saja menimbulkan ketidakadilan bagi narapidana yang berdampak jika narapidana memiliki sejumlah uang tertentu yang dapat diserahkan kepada petugas maka proses pembebasan bersyarat menjadi lebih cepat dan mudah, demikian pula sebaliknya.
Bebas bersyarat yang diberikan Kementerian Hukum dan HAM sebagai bentuk pencegahan penyebaran virus corona di dalam Lapas menimbulkan polemik baru di masyarakat. Ada beberapa napi yang baru saja dibebaskan, melakukan kejahatan lagi. Padahal, narapidana yang dibebaskan dalam proses asimilasi seharusnya sudah melalui tahap penilaian perilaku. Mereka harus dinilai berdasarkan perbuatan baik, selalu mengikuti program pembinaan dan tidak melakukan pelanggaran disiplin.
Hak, Perbuatan Hukum dan Hubungan Hukum
Hak dan Kewajiban Narapidana di Indonesia Sejak tahun 1964 sistem pembinaan Narapidana dan Anak Pidana mengalami perubahan mendasar yaitu dari sistem pemasyarakatan menjadi sistem pemasyarakatan. Demikian pula dengan lembaga yang semula bernama Lapas dan Rumah Pendidikan Negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor JHG8/506 tanggal 17 Juni 1964. Sistem Pemasyarakatan merupakan rangkaian tindak pidana unit penegakan hukum. Oleh karena itu, penerapannya tidak lepas dari perkembangan konsepsi umum tentang pemidanaan.
Narapidana bukan hanya objek tetapi juga subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekeliruan yang dapat dikenakan hukuman, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban sosial lainnya yang dapat dikenai hukum pidana. Kriminalisasi adalah upaya agar narapidana atau anak merasa menyesal atas perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga negara yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan agama, sehingga dapat tercipta kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. tercapai. Anak yang bersalah melakukan pembinaan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Penempatan anak yang bersalah di Lapas Anak, dipisahkan menurut statusnya masing-masing, yaitu Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil. Perbedaan status anak menjadi dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka. Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas perlindungan merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sejalan dengan peran lembaga pemasyarakatan, sudah selayaknya Petugas Pemasyarakatan yang mengemban tugas pembinaan dan pengamanan Warga Pemasyarakatan dalam undang-undang ini ditunjuk sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum.
Kerja sama pemerintah di masing-masing negara berkembang (tanpa dipungkiri negara maju) diperlukan, karena selain kondisi empiris atau kemampuan negara yang berbeda untuk memenuhi fasilitas yang menjadi faktor pendorong utama kesehatan warga negara, juga kemauan politik pemerintah untuk meningkatkan/ menjaga kualitas hidup warganya sangat diperlukan. Sistem Pemasyarakatan selain bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan terulangnya kembali tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan aplikasi dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. . Dalam sistem pemasyarakatan, Narapidana, Anak didik Pemasyarakatan, atau Klien Pemasyarakatan berhak mendapat bimbingan rohani dan jasmani serta dijamin haknya untuk melaksanakan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun cetak. media elektronik, menerima pendidikan yang layak dan sebagainya. Untuk melaksanakan sistem kemasyarakatan juga diperlukan peran serta masyarakat, baik dengan bekerjasama dalam pembinaan maupun dengan bersedia menerima kembali warga binaan pemasyarakatan yang telah selesai menjalani masa hukumannya.
Selanjutnya untuk menjamin terlaksananya hak-hak tersebut, selain Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang langsung melakukan pembinaan, juga diadakan Balai Pembinaan Pemasyarakatan yang memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan Pemantau Pemasyarakatan. Tim yang memberikan saran tentang Program Pembinaan Bantuan Pemasyarakatan. di masing-masing Unit Pelaksana Teknis dan berbagai fasilitas pendukung lainnya. Untuk menggantikan ketentuan dan peraturan perundang-undangan lama yang masih berdasarkan sistem pemasyarakatan dan untuk mengatur hal-hal baru yang dianggap lebih sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka dibentuklah Undang-Undang Pidana ini.