Siang itu di bulan Mei 2011, Wisma Bakrie I di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan kedatangan tamu yang tak biasa. Kehadiran tamu spesial hari itu membuat beberapa orang yang melihatnya melintas berkasak-kusuk. Wisma Bakrie I, sebuah kantor pusat perusahaan telekomunikasi selular sekaligus tempat rapat-rapat penting Partai Golkar kedatangan seorang anak muda bernama Hanafi Rais. Tak salah, inilah Hanafi sang putra mahkota Amien Rais.
Agenda rapat hari itu adalah membahas sikap Partai Golkar terkait nama yang akan diajukan sebagai calon walikota Yogyakarta periode 2012-2017. Setelah dipaparkan hasil survei oleh sebuah lembaga yang dikontrak eksklusif oleh Golkar, internal partai terpecah menjadi dua kubu: satu yang mendukung kadernya, satu lagi lebih memilih nama yang merajai hasil survei.
[caption id="attachment_328139" align="aligncenter" width="516" caption="Wisma Bakrie I, tempat rapat-rapat penting Golkar digelar (https://ssl.panoramio.com/user/370966)"][/caption]
Hanafi Rais diundang ke Wisma Bakrie I, karena ialah sang nama yang memuncaki hasil survei tersebut. Sedangkan kader Golkar terdekat elektabilitasnya dengan Hanafi adalah sang wakil Walikota Yogyakarta incumbent saat itu, Haryadi Suyuti.
Yang menjadi problem, survei menyatakan bahwa popularitas maupun elektabilitas Hanafi dan Haryadi terpaut cukup signifikan. Sedangkan sesuai peraturan Partai Golkar, jika nama yang dijaring dari hasil survei unggul jauh meninggalkan kandidat lain, dan meski calon yang unggul tersebut bukan berasal dari kader Golkar, ia akan diprioritaskan. Jika selisih hasil survei tipis, meski berada di nomor urut dua kader partai akan diberikan kesempatan untuk maju.
[caption id="attachment_328140" align="aligncenter" width="608" caption="Hanafi Rais: Sang Putra Mahkota (http://1.bp.blogspot.com/)"]
[/caption]
Rapat yang dihadiri petinggi Golkar itu berjalan alot. Satu kubu berpandangan realistis: buat apa mencalonkan kader sendiri jika surveinya rendah dan hampir pasti akan kalah? Kubu lainnya berpendapat, Hanafi memang unggul dalam segala aspek, namun gengsi partai akan tercederai jika Golkar sampai mengajukan namanya sebagai calon walikota. Kita tahu, brand Rais dan Golkar bukanlah perpaduan harmonis.
Sebagai salah satu orang yang dianggap sebagai tokoh reformasi, Amien Rais kala itu dikenal sangat vokal terhadap Golkar. Bersama komponen-komponen lain, Amien dianggap memiliki peran dalam mendorong jatuhnya Soeharto, dan rezim yang didominasi Golkar yang telah menjadi simbol kuasa politik Orde Baru. Dengan menunjuk Hanafi sebagai calon kepala daerah yang dimajukan, awkward moment politis dalam tubuh Golkar tak terelakkan.
[caption id="attachment_328141" align="aligncenter" width="345" caption="Amien Sang Reformis, 1998 (http://www.seasite.niu.edu/)"]
[/caption]
[caption id="attachment_328146" align="aligncenter" width="620" caption="Amien, 2012 (http://www.itoday.co.id/)"]
[/caption]
Hasil rapat yang dihujani interupsi dan derasnya argumen yang mengalir akhirnya menemukan solusi tengah: Hanafi Rais dimajukan sebagai calon walikota, Haryadi Suyuti menjadi calon wakilnya. Meski keputusan ini tidak memuaskan sepenuhnya pihak yang menentang ‘putra tokoh reformasi' ke dalam koalisi, namun setidaknya seorang kader Golkar ikut ambil bagian menjadi kontestan, meski hanya sebagai wakil. Dan yang terpenting potensi untuk menang menjadi lebih besar.
Hanafi meninggalkan ruang rapat dengan senyum kemenangan. Tapi apa yang terjadi di Wisma Bakrie I selanjutnya sungguh di luar dugaan.
Dalam selisih waktu yang tidak lama setelah keputusan Partai Golkar mengajukan calon pasangan kepala daerah Kota Yogyakarta, lagi-lagi Wisma Bakrie I dikunjungi seorang tamu istimewa. Ialah Siti Hediati Hariyadi, atau yang lebih dikenal sebagai Titiek Soeharto. Atas permintaan Titiek, juga intervensi pengurus partai lain, keputusan partai dianulir, dan diadakanlah rapat baru.
Meski menjabat sebagai pengurus pusat partai, kehadiran Titiek sungguh tidak lazim. Biasanya, rapat pemutusan calon kepala daerah hanya dihadiri pihak yang berkepentingan langsung, baik dari pusat maupun daerah. Namun dalam konteks ini, posisi jabatan Titiek tidak relevan dengan agenda rapat.
[caption id="attachment_328163" align="aligncenter" width="660" caption="Titiek bersama elite partai: Idrus Marham (Sekjen Golkar) dan Aburizal bakrie (Ketua Umum Golkar) [http://partaigolkar.or.id/"]"]
[/caption]
Maka digelarlah rapat ekstensi yang mengevaluasi hasil rapat sebelumnya. Ini juga di luar kebiasaan. Sebab, Partai Golkar dikenal sangat ketat terhadap rekomendasi hasil survei sebagai rujukan pengajuan calon kepala daerah; kecuali ada kondisi khusus, pencalonan akan ditinjau ulang.
Namun, kehadiran Titiek Soeharto memang sebuah kasus khusus. Dalam atmosfer yang cukup menegangkan, ia mempertanyakan hasil keputusan rapat sebelumnya yang menetapkan Hanafi Rais sebagai calon Walikota Yogya. Titiek Soeharto tidak berlama-lama. Ia mengajukan sebuah argumen yang membuat forum rapat terhenyak:
"Kenapa menunjuk dia? Apakah kita sudah lupa apa yang telah dilakukan ayahnya kepada kita. Entah dengan Anda semua, tapi sampai hari ini, saya tidak akan pernah melupakan apa yang diperbuat ayahnya terhadap ayah saya."
Forum diam sesaat. Sebagian menunduk diam, sebagian lagi menerawang. Yang jelas, persetujuan tak terucap menghinggapi banyak kepala dalam ruangan. Ruang rapat di lantai 6 itu menjadi saksi, bahwa Keluarga Cendana masih ada. Bukan cuma masih ada, tapi juga masih bertaring.
Hasil rapat ekstensi adalah: rapat sebelumnya dianulir, dukungan kepada Hanafi Rais sebagai calon walikota dibatalkan, dan Haryadi Suyuti menjadi Calon Walikota Yogyakarta. Golkar menunjuk kadernya sendiri untuk maju dalam medan laga. Atas nama masa lalu. Atas petunjuk Keluarga Cendana. Luka berumur belasan tahun itu ternyata belum kering. Putri sang diktator masih menyimpan bara dendamnya.
Kini, Titiek Soeharto dan Amien Rais berpeluang kembali untuk bertemu, kali ini dalam satu gerbong: Koalisi Merah Putih/Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Satu sisi, Partai Amanat Nasional (PAN) adalah partai anak kandung reformasi yang mengajukan ketua umumnya sebagai calon wakil presiden.
Sisi lain, sinyal merapatnya Cendana ke koalisi Merah Putih makin kuat. Dengan sowan-nya Prabowo ke makam Soeharto kemarin, ini adalah sebuah simbol rekonsiliasi Prabowo dengan Cendana. Diijinkannya Prabowo untuk 'nyekar' di pusara mantan mertuanya dapat dibaca sebagai restu dari Cendana untuk kembalinya si anak hilang. Atas nama masa lalu.
[caption id="attachment_328165" align="aligncenter" width="670" caption="Prabowo-Titiek: berdamainya Anak Hilang dengan Cendana (merdeka.com)"]
[/caption]
Meski kabar rujuknya Prabowo-Titiek masih sekelas berita infotainment, namun dalam konteks yang lebih luas adalah Prabowo telah kembali bersindikat dengan keluarga Cendana untuk membangun kembali rezim otoriter yang pernah runtuh.
Apa yang akan terjadi jika tokoh reformasi Amien Rais berada dalam satu gerbong dengan Dinasti Cendana yang ternyata masih menyimpan api dendam abadi atas apa yang telah dilakukan Amien atas Soeharto? Kita tidak tahu persis, namun rasanya pertarungan hebat sulit dihindarkan. Ditendangnya Hanafi Rais sebagai calon yang didukung Partai Golkar setelah sebelumnya ditetapkan dalam rapat resmi adalah bukti, kapak perang antara Amien Rais-Cendana belumlah ditanam. Hanafi Rais telah merasakan tajamnya taring Cendana. Semuanya dilakukan atas nama masa lalu…
[caption id="attachment_328172" align="aligncenter" width="640" caption="Amien Rais vs Keluarga Cendana Jilid 2? (diolah dari detik.com)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H