Dalam debat capres ketiga bertemakan Politik Internasional dan Ketahanan Nasional, Prabowo Subianto berjanji akan menjalankan good neighbor policy khususnya menyangkut hubungan Indonesia-Australia. Prabowo juga mengatakan bahwa memiliki 1000 kawan adalah terlalu sedikit, 1 musuh terlalu banyak. Ini mengamini kebijakan luar negeri SBY dengan fatsunnya ‘Indonesia: Thousands Friends and Zero Enemies'. Mirip, bukan?
Bagaimanakah mengukur tingkat akurasi realisasi kata-kata Prabowo kelak? Ini jelas akan menjadi persoalan. Bicara memang mudah. Namun pada kenyataannya, dibandingkan capres lain Prabowo memiliki ‘keistimewaan’ yang akan menjadi hambatan besar dalam menjalankan agenda politik luar negerinya. Keistimewaan Prabowo adalah ia memegang status persona non grata. Menyandang status ini merupakan sebuah aib dalam dunia diplomatik internasional, terlebih bagi seorang calon kepala negara.
Prabowo telah beberapa kali mengalami penolakan ketika berniat mengunjungi Amerika Serikat. Pada tahun 2000 ketika ia hendak menghadiri kelulusan putranya di Boston, visanya ditolak. Terakhir pada tahun 2004, ia sekali lagi mengajukan permohonan visa untuk berkunjung ke AS. Lagi-lagi ditolak.
Jika hanya berkunjung saja tidak diperbolehkan, bagaimana seorang pemimpin dapat membina hubungan internasional yang baik dengan negara lain? Seorang pemimpin nasional seharusnya duduk sejajar sebagai warga terhormat bersama pemimpin dunia yang lain, bukan malah masuk menjadi daftar hitam negara bersangkutan.
[caption id="attachment_330524" align="aligncenter" width="436" caption="Prabowo di salah satu media internasional (asiapacific.anu.edu.au)"][/caption]
Adik kandung Prabowo yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, Hashim Djojohadikusumo pernah mengomentari status Prabowo yang tidak diperkenankan menginjakkan kaki di Amerika dan banyak negara lain tersebut. Hashim tidak mempermasalahkannya, karena menurutnya Prabowo tidak sendirian. Memang Prabowo tidak sendirian, yang dimasukkan dalam blacklist Persona Non Grata ini adalah tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya, teroris, penjahat kemanusiaan, dan mereka yang berpotensi membawa penyakit menular membahayakan. Benar, Prabowo tidak sendirian.
Salah satu rekan Prabowo yang juga dikucilkan dalam pergaulan internasional adalah Kim Jong Un, presiden Korea Utara. Jika Prabowo jadi presiden kelak, nasib kita tentu akan sama seperti Korea Utara yang pemimpinnya arogan dan tidak mampu menjalin hubungan baik, bahkan dengan negara tetangga. Akibatnya, rakyat terkucil, terbelakang, dan kelaparan. Bahkan saking parahnya ada kasus kanibalisme di Korut karena kelaparan.
Cita-cita Bung Karno dengan Gerakan Non-Blok adalah bukan menjadi musuh, melainkan menjadi sahabat bagi negara-negara lain, bahkan memimpin mereka yang tertinggal. Sedangkan Prabowo jauh sebelum menjadi calon presiden saja sudah menjadi duri dalam daging dalam hubungan diplomatik internasional. Betapa melencengnya hal ini dari cita-cita yang dirintis oleh Proklamator kita.
[caption id="attachment_330527" align="aligncenter" width="631" caption="Soekarno bersama para pimpinan negara Non-Blok (1.bp.blogspot.com)"]
[/caption]
Selain membawa cacat pribadi, status persona non grata tentunya membawa catatan buruk bagi relasi internasional sebuah negara dengan negara lain. Contohnya Ryan Fogley, seorang diplomat Amerika di Rusia yang mendapat status persona non grata setelah diduga menjadi mata-mata CIA dan melakukan rekruitmen terhadap salah satu pejabat di Moskow. Atau juga di-persona non grata-kannya seluruh diplomat Suriah di berbagai belahan dunia sebagai bentuk protes terhadap Presiden Suriah, Bashar Al-Assad yang melakukan pembantaian terhadap rakyat sipilnya.
Belakangan, Hashim Djojohadikusmo melakukan lobi khusus untuk membantu memperbaiki nama Prabowo di Amerika Serikat. Ini tentunya sebuah sikap paradoks dengan semangat anti-asing yang digembar-gemborkan Prabowo Subianto selama ini.
Berbicara di depan forum USINDO di Washington DC, Hashim dengan penuh semangat malah meyakinkan publik Amerika bahwa Prabowo sangat pro-Amerika serta menjamin bahwa Gerindra akan menjadi mitra yang strategis dengan Amerika. Luar biasa.
Yang paling mengerikan, Hashim tampak berusaha keras untuk dianggap satu garis dengan kebijakan Amerika dengan menuduh mitra koalisinya, PKS melalui Kementerian Pertanian melakukan aksi diskrimantif terhadap pegawainya yang beragama Nasrani. Demi penebusan dosa masa lalu Prabowo di mata negara adidaya, seorang Hashim Djojohadikusumo sampai-sampai menjajakan isu-isu diskriminasi agama yang memang laku dijual ke Dunia Barat.
Alangkah mahalnya harga sebuah status persona non grata Prabowo yang harus kita bayar.
[caption id="attachment_330530" align="aligncenter" width="817" caption="Bashar Al-Assad & Kim Jong-un, penyandang gelar persona non grata kelas kakap (thetimes.co.uk)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H