Lihat ke Halaman Asli

Aditya Budi

Aktif di Lembaga Filantropi Nasional

Beban Keberkahan Generasi Sandwich

Diperbarui: 18 Desember 2020   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: iStock via detik.com

Generasi Sandwich ibarat generasi yang terjepit, menanggung beban berat keluarga dan penuh tekanan begitulah narasi-narasi yang berkecambah di ruang publik, termasuk di sosial media. Istilah Sandwich Generation ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller, seorang professor di Universitas Kentucky Amerika Serikat pada tahun 1981 dan akhir-akhir ini menjadi populer kembali.

Definisi sederhana dari Generasi Sandwich adalah generasi orang dewasa yang bukan hanya mengganggung beban hidup keluarganya sendiri (pasangan hidup dan anak) namun juga bertanggung jawab atas kebutuhan hidup orangtuanya.

Sandwich seakan menggambarkan kondisi tersebut, dimana tekanan ada dari atas maupun bawah, terjepit seperti sandwich dengan irisan tomat, keju atau daging di tengahnya.  Generasi yang konon juga menimpa generasi milenial yang baru berkeluarga. Generasi yang berpotensi mengalami banyak tekanan dan rentan stres.

Dalam prespektif konvensional (baca: Barat), situasi tersebut salah satunya terjadi sebagai akibat dari generasi tua (orang tua) yang tidak mempersiapkan masa tuanya dengan baik.

Katakanlah ketiadaan managemen masa pensiun dan rapuhnya pengelolaan keuangan untuk hari tua. Termasuk menjaga kesehatan dirinya sendiri. Banyak solusi yang ditawarkan oleh sejumlah pakar, mulai dari perencanaan pengelolaan keuangan yang lebih baik dan disiplin hingga menambah penghasilan dari usaha-usaha sampingan.

Namun langkah awal yang perlu harus dirubah adalah soal mindset, bahwa orangtua adalah beban. Dalam Islam tentu sudah terdapat nilai dan makna tersendiri bagaimana kita memperlakukan kedua orangtua. Menempatkan orang tua sebagai beban hidup sungguh hal tersebut mencederai apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan.

Suatu ketika bahkan Rasullullah SAW pernah menolak keinginan seorang pemuda untuk ikut jihad berperang, lantas meminta ia kembali, yaitu untuk merawat dan berbakti pada orangtuanya. Bukankah jihad fisabilillah adalah amal yang begitu mulia, gugur didalamnya maka surga menjadi balasannya tanpa hisab. Dan Rasulullah SAW menyamakan amal tersebut dengan merawat dan menghidupi kedua orang tua.

Kita semua juga sudah tahu bahwa berbakti pada orang tua adalah salah satu dari tiga amal yang paling dicintai oleh Allah SWT, selain shalat tepat waktu dan jihad fisabilillah. Ingat pula kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, bukankah salah satunya bertawasul kepada amalnya atas ketataan terhadap kedua orangtuanya.

Dan tentu mungkin yang paling populer adalah kisah keteladanan Uwais Al-Qarny. Seorang yang disebut-sebut oleh Rasulullah SAW meski akhirnya tak pernah bertemu dengan beliau.

Seorang yang dianggap remeh, berpenyakit sopak, tubuhnya belang-belang, tak dihiraukan, namanya senyap di dunia namun sakti melangit, semerbak harum diantara penduduk jagat langit. Doanya begitu makbul.

Demi keinginan ibunya Uwais melakukan berbagai cara, jangankan mengeluh bahkan menyela argumentasi pun tak ia lakukan tatkala ibunya menyatakan keingingan untuk pergi berhaji. Padahal jarak Yaman-Mekah tidaklah dekat dan Uwais tak memiliki apapun kecuali hanya seekor anak lembu. Julukan gila oleh warga kampungnya tak ia hiraukan demi ibunya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline