Belakangan ini, selebgram bernama Rachel Vennya kerap diperbincangkan lantaran dirinya melanggar protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Alih-alih melakukan karantina di Wisma Atlet sesuai dengan peraturan yang ada, dirinya bersama dengan Salim Nauderer dan Maulida Khairunnisa (yang kemudian disebut dengan “terpidana”) justru tidak mengindahkan peraturan tersebut dengan cara kabur dari Wisma Atlet. Hal ini pun membuat masyarakat geram dan mengharapkan adanya suatu hukuman yang sesuai atas perbuatan yang dilakukan oleh ketiga orang tersebut.
Selain membuat geram masyarakat umum, perbuatan yang dilakukan Rachel Vennya bersama dengan terpidana lainnya pun ternyata membuat diri mereka pribadi harus berurusan dengan meja hijau. Adapun Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Rachel Vennya dan terpidana lainnya dengan Pasal 93 jo. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan) jo. Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada intinya, tuntutan yang dilayangkan oleh JPU didasarkan atas perbuatan mereka yang diklaim tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang berlaku.
Kemudian setelah berjalannya persidangan, akhirnya Majelis Hakim pun memutus Rachel Vennya, Salim Nauderer, dan Maulida Khairunnisa sebagai terpidana dengan hukuman pidana yang di antaranya adalah pidana 4 (empat) bulan penjara dengan masa percobaan 8 (delapan) bulan beserta denda bagi masing-masing terpidana sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Mendengar putusan ini, masyarakat pun sontak merasa heran dan kalang kabut sebab Rachel Vennya dan terpidana lainnya tidak diminta untuk menjalankan pidana penjara yang dilayangkan kepadanya. Masyarakat pun kemudian menafsirkan bahwa terdapat ketidakberesan dari putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim dan mengatakan bahwa terdapat ketidakadilan yang menyelimuti kasus ini. Atas komentar dari beberapa kalangan masyarakat, maka penting rasanya bagi kita untuk mengetahui hal-hal terkait dasar peringan pidana dan pidana bersyarat di dalam tulisan ini. Hal tersebut dilakukan guna memahami lebih lanjut mengenai segi legalitas dari putusan perkara Rachel Vennya yang kini sedang diperdebatkan oleh masyarakat.
Apa Itu Dasar Peringan Pidana? Mengapa Perilaku Sopan Dinyatakan Sebagai Dasar Peringan Pidana?
Setelah putusan tersebut dilayangkan oleh Majelis Hakim, sejatinya terdapat suatu frasa yang membuat heboh masyarakat. Frasa tersebut adalah “perilaku sopan” yang dinilai oleh Majelis Hakim sebagai dasar peringan pidana dalam perkara Rachel Vennya dan terpidana lainnya ini. Akan tetapi, apakah sebenarnya dasar peringan pidana itu? Apakah hal tersebut hanya bualan Majelis Hakim belaka? Atau memang merupakan suatu ketentuan yang sesuai keberadaannya? Senyatanya jawaban atas pertanyaan tersebut adalah, “Iya, dasar peringan itu ada dan bukan bualan Majelis Hakim belaka.”
Adapun sebelum beranjak lebih jauh ke dalam pembahasan, penulis akan menyertakan pengertian dari dasar peringan pidana. Dasar peringan pidana secara sederhana dapat dimaknai sebagai suatu alasan bagi hakim untuk meringankan hukuman bagi terdakwa. Dalam hal ini, Majelis Hakim menilai bahwa tindakan sopan yang dilakukan oleh Rachel Vennya dan terpidana lainnya dapat digolongkan sebagai suatu dasar peringan pidana. Selain itu, Rachel Vennya dan terpidana lainnya pun secara terus-menerus mengakui perbuatannya, pula dirinya telah menyesali perbuatan yang dilakukannya. Atas alasan tersebut, Majelis Hakim pun menilai bahwa perlu adanya keringanan dalam halnya penentuan hukuman pidana bagi ketiga terpidana ini (yang sebelumnya merupakan terdakwa pastinya).
Hal tersebut mungkin terasa asing bagi kita, namun senyatanya tindakan yang dilakukan oleh Majelis Hakim memang benar adanya, berlaku sesuai, dan tidak melawan hukum. Adapun jauh sebelum adanya kasus ini, terdapat Putusan Mahkamah Agung Nomor 2658 K/PID.SUS/2015 yang pada intinya Majelis Hakim telah menerapkan adanya suatu dasar peringan berupa terdakwa pada saat persidangan berperilaku sopan. Kemudian, terdapat pula Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/PID/2006 yang di dalamnya tertera suatu pertimbangan Majelis Hakim mengenai hal-hal yang meringankan hukuman pidana terdakwa, yang di antaranya adalah perilaku sopan yang dilakukan oleh terdakwa di muka persidangan dan adanya penyesalan atas apa yang diri terdakwa perbuat. Maka, dengan menilik pada kedua Putusan Mahkamah Agung tersebut, penulis pun kita dapat menyatakan bahwa pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara Rachel Vennya dan terpidana lainnya ini memiliki dasar, yakni Putusan Mahkamah Agung 2658 K/PID.SUS/2015 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/PID/2006 – dalam hal ini Majelis Hakim telah menggunakan jurisprudence atau putusan pengadilan oleh hakim terdahulu yang berlaku mengikat (in kracht) sebagai suatu dasar hukum dalam pemutusan perkara ini.
Penjelasan tentang Pidana Bersyarat dan Relevansinya dengan Kasus Rachel Vennya
Melihat banyak sekali headline news yang mengatakan bahwa Rachel Vennya dan terpidana lainnya tidak perlu menjalankan pidana penjara, hal ini pastinya membuat kaget banyak sekali masyarakat. Beberapa masyarakat di luar sana menilai bahwa Majelis Hakim tidak adil dalam menilai kasus Rachel Vennya dan terpidana lainnya ini. Akan tetapi, senyatanya hal ini lagi-lagi bukanlah suatu perbuatan melawan hukum, melainkan putusan yang dikeluarkan Majelis Hakim ini telah mengindahkan Pasal 14a KUHP.
Apabila kita melihat pada Pasal 14a ayat (1) KUHP, di dalamnya dinyatakan bahwa hakim dapat memutuskan seorang terpidana tidak perlu menjalani pidana penjara atau kurungan untuk ketentuan pidana penjara atau kurungan dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Akan tetapi terdapat suatu syarat dalam pemberlakuan perintah ini, yakni terpidana dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan tindak pidana apapun. Kemudian, dikarenakan pidana penjara yang dilayangkan oleh ketiga terpidana ini adalah selama jangka waktu 4 (empat) bulan – tidak lebih lama dari 1 (satu) tahun – maka putusan Majelis Hakim berupa memberlakukan pidana bersyarat kepada ketiga terpidana ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 14a ayat (1) KUHP.
Kendati demikian, Majelis Hakim pun perlu terlebih dahulu memerhatikan ketentuan Pasal 14a ayat (4) KUHP. Pasal tersebut menyatakan bahwa perintah untuk tidak perlu dijalankannya pidana penjara bagi terpidana tersebut harus dibersamai dengan adanya penyelidikan yang cermat dan berkeyakinan oleh Majelis Hakim. Dalam hal ini, Majelis Hakim harus yakin bahwa terdapat suatu pengawasan yang cukup terhadap tindakan yang dilakukan oleh terpidana tersebut nantinya. Majelis Hakim pun harus yakin dan paham bahwasannya terpidana tidak akan melakukan suatu tindak pidana dan syarat khusus lainnya – apabila termuat. Apabila Majelis Hakim telah melakukan penyelidikan secara cermat dan telah muncul suatu keyakinan atas pertimbangan di atas, maka perintah untuk tidak menjalankan pidana penjara atau kurungan bagi terpidana yang diberikan oleh Majelis Hakim senyatanya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni Pasal 14a KUHP.
Kesimpulan
Dengan demikian, maka penulis menganggap bahwa segala kekhawatiran yang dimiliki oleh masyarakat merupakan suatu ekspresi yang valid. Akan tetapi, perlu bagi kita untuk menilik secara lebih mendalam kasus ini dari segi hukum. Adapun sejatinya putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim atas kasus Rachel Vennya dan terpidana lainnya ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun menurut jurisprudence. Sehingga, tidak ada suatu penyelewengan hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim di dalam kasus ini.
Dasar Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.