Lihat ke Halaman Asli

Tunduk pada Konstitusi atau Tuntutan?

Diperbarui: 25 November 2016   23:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam perdebatan terkait kondisi karut marut akhir-akhir ini, banyak yang mencemaskan bahwa Indonesia akan terjerembab menjadi negara gagal. Berbagai tuntutan perbaikan diajukan, seperti perlunya pemimpin yang kuat, terutama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Bahkan, dalam sebuah talk show di televisi, mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie berkesimpulan diperlukan pemimpin yang otoriter, tapi harus baik.

 Lebih baik memiliki seorang pemimpin yang otoriter namun tahu dan berani bertindak benar daripada pemimpin yang tunduk pada desakan dan kemauan golongan sepihak.

 Namun, sejarah mencatat bahwa pemimpin kuat (otoriter) yang membawa perubahan (positif, maupun negatif), biasanya menyebabkan anomali sistemik. Sepeninggalnya, biasanya akan muncu protes yang menentang saat kepemimpinannya, namun akan terbentuk pondasi negara yang kuat. Pemerintah menjadi lebih kuat dibandingkan negara yang diwakili oleh konstitusi dan UU. Sebut saja Singapura di bawah pimpinan Lee Kuan Yew contohnya.

 Belakangan ini sedang terjadi isu panas penistaan agama yang menyeret nama Calon Gubernur Petahana DKI Jakarta, Ahok. Isu yang diangkat oleh seorang mantan dosen LSPR yang menyebabkan pro-kontra di masyarakat. Di satu sisi ucapan Ahok memang sekilas terdengar kasar namun jika ditelaah secara cermat oleh pihak yang berwawasan dan berkepala dingin, maka dengan mudah dapat disimpulkan maksud dari ucapannya yang tidak bermaksud menyerang/menistakan. Namun di lain sisi, ada pihak yang tersinggung, terlebih karena agama adalah masalah yang sensitif. Situasi tambah memanas dengan dikait-kaitkannya isu ini dengan masalah politik. Dengan adanya provokator dengan tujuan apapun, baik itu membela agama maupun menjegal lawan politik, namun yang jelas hal ini sudah menjadi masalah yang besar.

4 November 2016 tidak akan menjadi tanggal yang begitu saja dilupakan bangsa ini. Umat muslim dari seluruh Indonesia datang ke Jakarta untuk menuntut sesuatu yang mereka anggap adil. Hukum diabaikan, yang mereka mau hanyalah negara mengikuti kemauan mereka. Lantas apakah Ahok benar-benar bersalah? Saya tidak yakin dari sekian banyak massa yang hadir sudah memahami hukum dengan benar, hanya sebagian. Namun tetap mereka menuntut sesuatu yang mereka anggap adil. Pada akhirnya kasus ini disangkut pautkan dengan presiden, lantas ada apa dibalik semua ini?

Setelah penetapan Ahok sebagai tersangka, saya kira protes sudah akan berakhir tapi ternyata tidak. Sekarang negara ini sedang dihadapkan dengan tuntutan untuk menghakimi dan menjebloskan orang ke penjara tanpa proses hukum yang jelas, hanya berdasarkan opini. Lantas presiden Jokowi dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Haruskah ia membiarkan hukum berjalan dengan semestinya, ataukah ia harus mengintervensi untuk meringankan atau justru memperberat kasus ini.

Seperti yang kita tahu, Indonesia adalah negara hukum, dan kita memilii dasar hukum dan pedoman hidup negara yang jelas dalam UUD 1945 amandemen dan Pancasila. Sebagai negara hukum yang benar, sudah seharusnya proses hukum mendasari semuanya. Jika kita mau mengesampingkan dasar-dasar negara tersebut, untuk apa ada dasar, lebih baik dasar tersebut dihapuskan dan kita memilih seorang pemimpin otoriter yang dapa memutuskan semuanya sesuka hatinya, namun resiko tetap ada. Sekarang negara kita sedang diuji, APAKAH KITA HARUS TUNDUK TERHADAP KONSTITUSI ATAU TUNDUK TERHADAP SUARA MAYORITAS? Jika tunduk pada konstitusi maka biarlah hukum berjalan dengan adil, dan pengadilan memutuskan pihak mana yang bersalah. Biarkan waktu yang menjawab.

Sedikit saya berikan gambaran, ada suatu saat dimana Presiden mendengarkan suara mayoritas dan terjadi hal yang disesali di akhir, yaitu lepasnya Timor Timus menjadi negara merdeka. Cukup sekian saya rasa pembahasan diatas dapat menjadi refleksi masing-masing dari kita, karena hidup yang tidak direfleksikan sama saja hidup yang sia-sia. Salam Damai.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline