Lihat ke Halaman Asli

Masih Buruh vs Kelas Menengah (Ngehek)

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaget. Ada buruh yang berpenghasilan sebulan Rp 2,2 juta, punya motor Kawasaki Ninja 250 cc yang harganya bisa mencapai Rp 50 juta. Lucunya, si buruh tersebut ikut demo menuntut kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) menjadi Rp 3,7 juta. Ketika ditanya, dengan duit itu, baru bisa nutup cicilan motor tersebut dan hidupnya sejahtera. Itu yang ditulis media-media waktu ada demo-demo yang sempat menjadi caci maki para penduduk kota Jakarta, atau disebut oleh para pendukung buruh dengan sebutan kelas menengah (ngehek). Ada yang pakai tanda kurung dan ada juga yang tidak.

Kenapa media lebih menyorot buruh yang memiliki motor ninja ketimbang menyorot kesejahteraan yang lagi diperjuangkan para buruh itu? Ya karena buruh punya motor ninja itu sebuah nilai berita. Aneh. Sesuatu yang aneh. Jika berpikir menggunakan logika, buruh tidak akan bisa nyicil motor ninja yang harganya puluhan juta itu. Itulah yang membuat berita itu naik cetak. Dan tentu saja kita yang baca akan dibuat kesal oleh buruh. "Bisa beli ninja kok masih demo nuntut kesejahteraan?". Sepertinya ungkapan itulah yang terlintas dipikiran kita. Yang mungkin kita juga termasuk ke dalam kelas menengah (ngehek).

Banyak hujatan kepada buruh. Mulai dari bikin macet atau apalah itu. Setelah itu mulai muncul tulisan-tulisan dari para blogger yang mendukung aksi buruh. Dari yang saya perhatikan, tulisan itu mengesampingkan buruh yang punya ninja itu. Toh, tulis mereka, mereka yang gajinya tak sampai Rp 10 juta berani nyicil mobil yang harganya ratusan juta. "Masa buruh gak boleh punya motor ninja. Apa senang senang cuma punya kelas menengah (ngehek) aja? Apa cuma kelas menengah (ngehek) aja yang bisa beli sepatu nike jutaan rupiah dan mengadakan lomba maraton yang sekarang lagi ngehits sampai nutup jalan? Kami yang menuntut kesejahteraan malah dihujat."

Macam itulah tulisan mereka. Ada yang salah dari tulisan itu? Tidak. Ada benarnya juga tulisan mereka. Tanpa kita sadari, kita juga sering membuat kerugian bagi saudara-saudara kita yang kekurangan. Kita malah mungkin sebenarnya sirik dengan si buruh. Atau mungkin para pembaca punya alasan lain? Terserah. Di sini yang saya sorot adalah kesenangan dan kesejahteraan. Hal tersebut yang ada dalam masalah itu.

Cerita dikit.

Saya punya teman. Dalam urusan keuangan, dia bisa mengirit seirit-iritnya untuk beli sesuatu yang dia senangi kalau yang saya pikir, bukan kebutuhannya. Atau kalau dalam percakapan biasa, "Lo ngapain sih beli gituan?".

"Anjiiir. Keren kali ya gw kalo punya moge (motor gede. Katanya sih bisa dibilang moge kalo cc-nya di atas 250 cc)," kata teman saya itu.

"Ya semua orang make motor itu ya keren lah. Yang jelek pun keren pake motor itu," jawab saya sekenanya.

"Harus punya nih gw. Harus," jawabnya dengan penuh semangat. Kami sama-sama anak kos. Teman saya itu punya kios hp hasil patungan sama saudaranya. Jadi per bulan itu dia dapat dikirimi Rp 2 juta lah kurang lebih. Uang itu tak tentu juga sih. Tergantung keuntungan yang dia dapat. Itu uang sakunya sebagai mahasiswa. Mahasiswa lho ya.

Beberapa bulan kemudian, setelah libur lebaran, saya bertemu lagi dengannya. Dia ngedumel. Ternyata dia berani membeli motor gede 700 cc bekas  (lupa mereknya) seharga Rp 30 juta.

"Gw minjem duit tante gw dulu buat bayar itu. Ya per bulan gw ganti. Sebulan Rp 1,1 juta lah gw transfer ke tante gw. Kampret, gw makan apa ya?" dia ngedumel sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline