Lihat ke Halaman Asli

Adi Triyanto

Buruh Sebuah Perusahaan swasta Di Tambun- Bekasi-Jawa Barat

Ketika Kata-kata Kasar dan Merendahkan Menjadi Simbol Keakraban

Diperbarui: 15 Desember 2024   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kata goblok itu kasar dan merendahkan. Tapi di suatu komunitas tertentu itu sudah menjadi hal yang biasa. Wajar dan lumrah dikatakan. Bahkan dilakukan oleh orang yang kategorinya mulia.Seorang pendakwah. Seorang Gus. Katanya menjadi simbol keakraban. Sekedar untuk guyonan. Tapi benarkah tidak ada pihak yang terlukai hati dan perasaan serta harga dirinya ?

Peristiwa viralnya video kasus Gus Miftah dalam sebuah pengajian di Magelang akhir kahir ini, adalah wakil dari fenomena gunung es tentang bentuk keakraban yang ada di suatu komunitas tertentu. Suatu bentuk komunikasi dengan menggunakan kata kata tertentu , sebagai bentuk keakraban. Kata kata yang kalau di luar komunitasnya dianggap tidak pantas . kasar bahkan merendahkan. Seperti goblok, tolol dan kata-kata sejenis lainnnya.

Kasus Gus Miftah menjadi trending karena komunitasnya seharusnya menjadi simbol tentang tingginya sebuah etika dan moral. Di sebuah komunitas pengajian. Komunitas yang mulia. Dan disampaikan oleh seorang pendakwah yang seharusnya menjadi contoh tutur kata yang mulia. Yang terjadi justru sebaliknya, dari komunitas moral itu keluar kata kata yang tidak bermoral. Di komuitasnya itu dianggap sudah biasa. Jamaahnya tidak protes, Bahkan banyak yang tertawa. Tetapi kalau jika kata kata tersebut , terucap atau dikatakan di luar komunitasnya pasti komentar akan muncul, Itu sebagai kata kata yang kasar, merendahkan dan tak beretika.

Dari komunitas itu muncul, tanggapan bahwa kata kata itu hal yang biasa. Sekaligus untuk menunjukkan sebuah keakraban. Kedekatan emosional. Hubungan tak berjarak. Tapi benarkah seperti itu ? Dalam dunia kesehatan kita mengenal kenaikan kekebalan. Suatu kondisi di mana , ketika pertama kali suatu obat diminum itu lebih terasa daripda ketika yang kedua dan berikutnya. Semakin berulang maka tingkat kepekaan makin berkurang. Akhirnya menjadi kebal , tidak merasakan hal yang aneh lagi seperti ketika pertama mencoba. Menjadi biasa. Kecuali ditambah atau dinaikin level/kadarnya. Begitu seterusnya.

Dalam penggunan kata kata tak terpuji pun sama. Saat pertama terucap dari seorang pendakwah, kata yang kasar dan merendahkan itu, akan membuat orang yang menjadi sasaran ucapan akan merasakan sakit hati. Tersinggung bahkan marah. Kalau tidak , itu bohong. Atau menyembunyikan apa yang di dalam hati karena takut. Di kasus pak Sunhaji, itu terlihat dari ekspresi pak Sunhaji, saat mendengar kata tersebut, terucap dari Gus Miftah. Pak Sunhaji , diam terpaku. Dan wajahnya terlihat , bersedih. Dan mungkin juga ada perasaan yang tak terungkap , hanya pak Sunhaji yang tahu.

Ada hati yang terluka, namun karena ada rasa takut dan juga kebutuhan yang harus dipenuhi , penerima ssaran kata -kata tak terpuji itu tetap bertahan. Karena pilihannya , ikuti suara hati yang terluka lalu berhenti berdagang di acara pengajian tetapi keluarga yang di rumah tidak bisa makan. Atau tetap datang dan berdagang di pengajian dan berdamai dengan perasaan sakit hati ,

Meski hati terluka pada awalnya , akhirnya mereka menjadi biasa. Dan berusaha keras ikut menikmati bersama orang lain yang kondisi ekonominya sudah mapan , untuk ikut menertawakan kondisi diri sendiri yang menjadi bahan sasaran yang katanya sebagai guyonan keakraban itu. Mereka berdamai dengan keadaan , dan membiasakan diri mendengar ucapan ucapan tidak pantas itu. Ada yang harus lebih diselamatkan yaitu ekonomi keluarga , anak dan istri yang menjadi tanggung jawabnya.

Dan kasus Sunhaji, di satu sisi ada pihak yang tercederai perasaan dan hatinya, di sisi lain bisa juga menjadi contoh, " baik " Dimana akibat dari ucapan kata tak pantas itu, justru menjadi solusi yang sebenarnya dari problem ekonomi , yang dihadapi pak Sunhaji . Dari kasus videonya yang viral, mengalirlah bantuan atau donasi dari banyak pihak yang terketuk hatinya dengan apa yang dialami, penjual teh tersebut. Ada bantuan uang , beasiswa, bahkan paket umrah ke tanah suci sekeluarga. Jumlah bantuan yang sangat menggiurkan .

Masalah Sunhaji, selesai , namun sunhaji-sunhaji yang lain bagaimana ? Jumlah mereka banyak. Berada di sekitar kita. Dan dari video pengajian yang viral setelah, banjirnya bantuan untuk pak SunHaji, akhirnya mengundang orang lain untuk melakukan hal yang sama. Yang perlu dibantu tidak hanya Sunhaji saja , ada jutaan orang yang mirip kondisinya dengan sunhaji. Dan tidak mungkin, diselesaikan seperti kisah suskes sunhaji merubah nasibnya dalam sekejap. Dan itulah PR besar umat islam dan negara untuk menyelesaikannya secar tersistem. Bukan dibiarkan terus menerus diselesaikan dengan jalan keluar model bantuan ala seperti kasus Sunhaji. Yang tidak mendidik dan juga bisa mencederai perasaan orang yang dalam kondisi yang sama.

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya kondisi ini. Tetap membiarkannya, karena sudah muncul kekebalan. Yang berarti mengesahkan penggunaan kata-kata yang tidak terpuji , oleh para pendakwah. Yang sebenarnya , sebagai benteng moral dan etika ?

Yang herannya, type pendakwah yang sering mempergunakan kata kata tidak terpuji ini laris. Banyak digemari. Sebenarnya apa yang terjadi dengan masyarakat kita, apakah sudah bener terjadikah kah ungkapan, "tuntunan jadi tontonan dan tontonan jadi tuntunan". Dan dalam masyarakat yang sudah kebalik-balik ini, maka akhlak , etika, terkadang menjadi hal yang tidak penting lagi. Yang lebih penting adalah bersifat menghibur. Menggembirakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline