Lihat ke Halaman Asli

Adi Triyanto

Buruh Sebuah Perusahaan swasta Di Tambun- Bekasi-Jawa Barat

Ketika Bulan sudah Kehilangan Cahayanya

Diperbarui: 10 Oktober 2024   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat malam hari datang, bulan  bercahaya. Namun cahayanya bukan berasal dari dirinya sendiri. Bulan hanya memantulkan sinar  matahari yang dia terima. Bila tidak ada sinar matahari yang mengenai dirinya, maka bulan tak bercahaya. Yang ada hanya kegelapan.

Bagi bulan, ketika tidak bercahaya sebenarnya hal yang biasa. Bahkan memang seharusnya. Yang menjadi masalah adalah ketika banyak orang yang menyangka bahwa bulan itu bercahaya, karena memiliki  sumber cahaya dalam  dirinya sendiri. Lalu menganggap bulan sebagai sumber cahaya. Tanpa mau mempelajari lebih dalam lagi sebenarnya siapa pemilik sumber dari cahaya bulan tersebut.

Cahaya bulan itu ibarat kekuasaan yang melekat kepada  seseorang. Ketika kekuasaan itu masih melekat dalam diri seseorang , banyak pihak menganggap dia sebagai sumber cahaya. Kemudian memuja muja orang yang memiliki kekuasaan tersebut. Hingga tidak menyadari, Ketika  kekuasaan itu hilang maka kilau dari orang tersebut  itu tidak ada lagi. Tidak memiliki pengaruh lagi. Kembali menjadi orang biasa.

Yang membuat seseorang bercahaya ketika memiliki kekuasaan adalah kualitas diri dari  orang itu sendiri. Kilau kualitas dirilah sumber dari kilau kekuasaan yang dimiliki. Kekuassan yang didasari  nilai kualitas diri seorang pemimpin yang bagus  dan mulia maka akan melahirkan kekuasaan yang menerangi bagi semua. Membawa kebaikan bagi seluruh rakyat yang dipimpin.

Sebaliknya bila sumber dari cahaya kekuasaan itu  bukan berasal dari nilai kepemimpinan yang tidak baik, kepemimpinan yang semena-mena maka kekuasaan hanya akan mendatangkan kegelapan. Membawa keburukan bagi rakyat yang dipimpinnya. Bahkan bisa menjadi bencana bagi rakyat.

Bulan yang  kehilangan cahayanya dapat dijadikan perumpamaan tentang berakhirnya jabatan yang melekat pada diri seseorang. Sama seperti bulan yang bersinar terang di langit malam namun akhirnya redup ketika bayangan bumi menghalangi sinar matahari, seorang pemimpin atau pejabat yang berkuasa akan menghadapi saat di mana posisinya perlahan memudar. Ini adalah siklus alamiah dalam kehidupan yang menggambarkan bagaimana kekuasaan bersifat sementara, dan bagaimana seseorang harus siap ketika cahaya jabatannya meredup.

Jabatan, seperti halnya cahaya bulan, tidak bersifat permanen. Setiap pemimpin memiliki masa jabatan, di mana mereka bersinar terang di tengah masyarakat, membawa pengaruh, keputusan, dan tindakan yang berdampak besar. Namun, ketika masa jabatan tersebut mendekati akhir, kekuasaan yang mereka miliki perlahan-lahan mulai memudar. Misalnya, seorang presiden atau kepala daerah yang menjabat selama satu atau dua periode akan mengalami penurunan perhatian dari publik ketika mendekati akhir masa jabatannya, dan fokus mulai bergeser ke sosok penggantinya. Sama seperti bulan yang kehilangan cahayanya, sosok pemimpin pun harus memahami bahwa masa kejayaan mereka akan berakhir, dan cahayanya akan digantikan oleh yang lain.

Proses transisi ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin yang bijaksana harus memiliki kerendahan hati dan kesadaran bahwa kekuasaan bukanlah milik abadi. Memahami bahwa jabatan adalah titipan sementara memampukan seseorang untuk menghadapi akhir masa jabatannya dengan kepala tegak, tanpa rasa takut atau cemas. Inilah yang disebut sebagai kualitas diri.

Seorang pemimpin yang terus-menerus berusaha mempertahankan jabatannya dengan segala cara, bahkan ketika sudah tidak relevan lagi, akan terlihat seperti bulan yang berusaha memaksakan sinarnya meskipun gerhana sudah tiba. Ini dapat merusak citra mereka dan membuat mereka kehilangan rasa hormat dari masyarakat. Inilah pemimpin yang merasa bahwa jabatan adalah segalanya. Jabatan lah yang membuat nya jadi terhormat, Sehingga ketika jabatan sudah tidak dipegang lagi, maka jatuhlah harga dirinya. Rusaklah reputasinya. Jabtan yang diharapkan menjadi sesuatu yang mengangkat harga diri dan martabatnya justru, memebuat dirinya jatuh terjerembab dalam lembah kenistaan karena kualitas diri tidak ada. Jabatan dan kekuasaan diraih bukan karena kapabilitas tetapi hanya karena popularitas.

Berakhirnya jabatan juga bisa menjadi momen refleksi bagi seorang pemimpin. Ini adalah kesempatan untuk menilai sejauh mana mereka telah memanfaatkan kekuasaan untuk kebaikan, dan bagaimana mereka akan dikenang oleh masyarakat. Seorang pemimpin yang menggunakan masa jabatannya dengan bijak dan penuh tanggung jawab, bahkan ketika "cahaya" kekuasaannya mulai redup, akan tetap dihormati dan dihargai oleh publik, meskipun sudah tidak lagi menjabat. Contohnya, Presiden John F. Kennedy di Amerika Serikat dikenal bukan hanya karena masa jabatannya, tetapi karena warisan pemikirannya dan dedikasinya pada negara, yang tetap dikenang jauh setelah masa kepemimpinannya berakhir.

Seperti bulan yang kembali bersinar setelah gerhana berakhir, seseorang yang kehilangan jabatan dapat terus bersinar dalam peran-peran yang berbeda. Kehidupan setelah jabatan sering kali membuka peluang baru untuk berkontribusi kepada masyarakat dengan cara yang berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline