"Bau-baunya kolonial, selalu saya rasakan setiap hari. Dibayang-bayangi (masa kolonial)," itulah kata kata Presiden Jokowi, yang disampaikan saat memberikan pengarahan kepada para kepala daerah se-Indonesia di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur.
Kata-kata Presiden Jokowi tersebut, tak pelak mendapat tanggapan yang beragam. Ada yang kontra ada juga yang pro. Dan bisa ditafsirkan bahwa semangat itu pula yang telah mendorong presiden Jokowi membangun Ibu Kota Nusantara atau IKN, untuk menggantikan istana Negara di Jakarta. Istana Negara warisan penjajah Belanda. Meski kondisi keuangan negara sedang tidak baik baik saja. Dan pro kotra pendapat itu hanya kembali menyegarkan ingataan tentang arti dari bau kolonial dan kolonialisme yang sebenarnya.
Di tengah perbincangan tentang kolonialisme dalam sejarah, sering kali muncul istilah "bau kolonial" dan "sikap kolonial" yang menggambarkan warisan dan praktik-praktik yang masih terasa hingga kini.
Meski keduanya berakar dari era penjajahan, penting untuk membedakan antara bau kolonial sebagai sisa-sisa budaya masa lalu dan sikap kolonial sebagai tindakan aktif yang memperpanjang dominasi dan ketidakadilan. Keduanya memiliki dampak yang berbeda dalam masyarakat modern, meskipun saling berkaitan.
Bau Kolonial
Bau kolonial mengacu pada jejak budaya, simbol, dan tradisi yang diwariskan dari masa kolonial. Ini bisa berupa arsitektur kolonial, nama jalan yang berasal dari tokoh penjajah, atau penggunaan bahasa dan adat istiadat yang dibawa oleh para penjajah.
Sebagai contoh, di beberapa negara bekas jajahan Eropa, seperti Indonesia, kita masih menemukan bangunan bersejarah dengan gaya kolonial, seperti istana presiden baik yang di Jakarta, maupun istana Bogor.
Ada nama-nama jalan yang diambil dari tokoh kolonial, atau bahkan sisa-sisa hukum yang diterapkan pada masa penjajahan. Ada jalan Daendels di dekat Pantai Selatan Jawa. Bahkan jalan Anyer-Panarukan , sebetulnya juga dahulu dinamakakan jalan Daendels atau disebut juga jalan Pos.
Bau kolonial ini sering kali tidak disadari dan dapat dilihat sebagai bagian dari identitas nasional yang kompleks, meski beberapa pihak merasa perlu menghapus atau mengubahnya sebagai upaya dekolonisasi. Menghilangkan ingatan yang telah membawa luka dalam sejarah bangsa.
Bau kolonial sebenarnya tidak begitu urgent untuk dihilangkan. Karena dia hanya bersifat fisik. Yang tak memiliki pengaruh yang signifikan, ketika sebuah bangsa telah memiliki jiwa Merdeka.
Jiwa yang telah mengambil pelajaran penting dari Sejarah pahit kolonialisme, dan tidak akan membuat kesalahan yang sama, sehingga menjadi bangsa yang menjadi budak kolonislisme. Kolonialisme yang telah berganti wajah, tidak lagi berbentuk penjajahan fisik seperti jaman dahulu , tapi sudah menjajah dalam bentuk penjajahan pikiran atau pemahaman.