Diselingkuh. Dipoligami. Dua kata yang dianggap tabu bagi kaum hawa. Dua kata yang tak ingin didengar apalagi sampai dialami. Amit amit kalau sampai terjadi.
Meski ingin selalu dihindari, namun kasus perselingkuhan saat ini sering terjadi . Dia terjadi tak jauh-jauh dari sekitar kita. Bahkan mungkin ada yang terjadi di tempat kita kerja sendiri. Menimpa teman kerja kita sendiri. Peristiwa yang bisa kita saksikan dengan mata kepala sendiri . Dan itu terjadi tidak hanya menimpa satu rumah tangga orang tetapi beberapa rumah tangga.
Sementara poligami meski dibenci tetap menjadi pilihan yang paling logis. Tentu jika syarat syarat yang ditentukan bisa dipenuhi. Bukan atas paksaan pihak suami kepada istri dengan alasan yang dipaksakan dan tidak sesuai ketentuan agama.
Selingkuh dan poligami adalah dua fenomena yang sering dibahas dalam konteks hubungan dan perkawinan, terutama di masyarakat yang memiliki nilai-nilai budaya dan agama yang kuat. Keduanya mencerminkan dinamika dan tantangan yang berbeda dalam mempertahankan kesetiaan dan keutuhan hubungan.
Selingkuh, atau hubungan di luar nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sering kali dilihat sebagai tindakan pengkhianatan terhadap pasangan. Sebaliknya, poligami, yang dilakukan secara terbuka dan legal, biasanya diatur oleh aturan agama atau hukum tertentu dan dilihat oleh sebagian sebagai alternatif yang lebih jujur dalam memenuhi kebutuhan emosional dan seksual seseorang.
Selingkuh sering kali dipicu oleh berbagai alasan seperti ketidakpuasan dalam hubungan, kurangnya komunikasi, atau godaan dari luar. Dalam banyak kasus, selingkuh dilakukan secara diam-diam karena pelakunya tidak ingin merusak hubungan yang ada atau takut akan konsekuensi sosial dan hukum. Contohnya, seorang suami yang merasa hubungannya dengan istrinya telah hambar mungkin mencari kepuasan emosional dan fisik dengan orang lain tanpa sepengetahuan istrinya. Tindakan ini, selain menyakiti pasangan, juga menimbulkan ketegangan dan ketidakpercayaan dalam hubungan. Dalam jangka panjang, selingkuh bisa merusak fondasi kepercayaan dan menyebabkan keretakan yang sulit diperbaiki.
Di sisi lain, poligami menawarkan solusi yang lebih terbuka dan legal bagi mereka yang merasa satu pasangan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam beberapa budaya dan agama, poligami diatur dengan ketat untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat diperlakukan dengan adil. Misalnya, dalam beberapa komunitas Muslim, seorang pria dapat menikahi lebih dari satu wanita asalkan ia mampu memenuhi kebutuhan material dan emosional masing-masing istri dengan adil. Poligami di sini dianggap sebagai cara yang lebih jujur dan bertanggung jawab dalam mengelola kebutuhan emosional dan seksual dibandingkan dengan selingkuh. Ini juga memberikan perlindungan hukum dan sosial bagi semua pihak yang terlibat.
Namun, baik selingkuh maupun poligami memiliki tantangan dan kontroversinya sendiri. Selingkuh dapat menghancurkan kepercayaan dan membawa dampak negatif yang mendalam bagi hubungan dan keluarga. Di sisi lain, poligami, meskipun legal dan terbuka, sering kali menghadapi kritik karena dianggap tidak setara dan bisa menimbulkan kecemburuan serta ketidakpuasan di antara istri-istri. Misalnya, seorang pria yang berpoligami mungkin menghadapi kesulitan dalam membagi waktu dan perhatian secara adil di antara istri-istrinya, yang dapat menimbulkan konflik dan ketidakpuasan. Selain itu, poligami sering kali dikritik karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai kesetaraan gender modern.
Pada akhirnya, baik selingkuh maupun poligami mencerminkan kompleksitas hubungan manusia dan kebutuhan untuk menemukan keseimbangan antara keinginan pribadi dan tanggung jawab terhadap pasangan. Selingkuh mungkin tampak sebagai jalan pintas yang menggoda tetapi membawa risiko besar bagi keutuhan hubungan. Sementara itu, poligami menawarkan pendekatan yang lebih transparan dan legal, namun memerlukan komitmen dan kemampuan untuk berlaku adil yang tidak mudah dicapai. Pilihan antara kedua jalur ini sering kali bergantung pada nilai-nilai pribadi, budaya, dan agama yang dianut oleh individu dan komunitasnya. Masing-masing memiliki konsekuensi dan tantangan tersendiri yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H