Lihat ke Halaman Asli

Trias Adi Prayoga

Sang Pencerah

Sastra Indonesia dan Eksistensi Kepenyairan

Diperbarui: 15 Maret 2022   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

I
Akhir-akhir ini sering bermunculan orang-orang yang menganggap dirinya sebagai penyair. Entah hal apa yang melatar belakangi anggapan tersebut, akan tetapi mereka begitu gencarnya menulis puisi di tengah-tengah proses mereka yang bisa dikatakan masih pemula dalam ranah perpuisian.

Biasanya hal semacam itu tak lepas dari situasi batin orang tersebut. Mengingat usianya yang masih tergolong relatif muda, bisa kita sepakati bahwa mereka menulis karena persoalan cinta yang melanda kehidupannya. Karena tidak dapat dipungkiri lagi jika cinta memang merupakan persoalan yang tak akan pernah selesai untuk diperbincangkan di setiap kalangan.

Cinta merupakan makhluk halus yang sering membuat manusia gila, dan puisi adalah salah satu jalan untuk menuju cinta itu sendiri. Jadi jangan heran jika banyak orang sedang jatuh cinta tiba-tiba menjadi puitis, tiba-tiba menyukai puisi, tiba-tiba menulis puisi, dan tiba-tiba menjadi penyair.
II

Dalam sejarah kepanyairan Indonesia telah banyak melahirkan penyair-penyair yang karya-karyanya tidak bisa diragukan lagi. Dari era Sastra Balai Pustaka hingga era saat ini (Sastra Modern), telah banyak bermunculan nama-nama penyair dengan karya-karyanya yang seakan hampir selalu memberikan perubahan dalam dunia kesusastraan.

Sedangkan dalam rentang sejarah sastra Indonesia (modern) relatif sudah cukup panjang. Kalau kita sepakati bahwa masa kelahirannya adalah sekitar awal abad ke-20 dan sekarang usianya kurang lebih satu abad lamanya.

Sepanjang perjalanannya, hampir karya sastra yang dituliskan tidak lepas dari pengaruh romantisisme. Ternyata paham tersebut tidak hanya berhenti pada masa Pujangga Baru. Seperti yang dikatakan oleh H. B. Jassin dalam tulisannya yang berjudul Sastra "Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia" ia berkata, ataukah menjangkau rentangan waktu yang lebih panjang dan menukik masuk ke dalam wilayah batin yang lebih dalam sehingga membuatnya identik dengan sastra itu sendiri dalam pemahaman dan penghayatan sastrawan Indonesia.

Jadi jangan heran bila selama ini kita sering menjumpai puisi-puisi yang menganut paham romantisisme. Karena besar kemungkinan penyair-penyair yang bermunculan berhaluan terhadap karya-karya yang sebelumnya.

Akan tetapi sangat disayangkan di tengah banyaknya penyair yang bermunculan dalam mewarnai kesusastraan Indonesia, mereka tidak mampu untuk bertahan lama dalam eksistensi kepenyairannya. Barangkali benar yang telah dikatakan Budi Darma dalam tulisannya "Milik Kita; Sastra Sepintas Lalu" ia berkata, Sastra Indonesia mempunyai penulis yang bukan main banyaknya, tetapi kebanyakan hanya melengok sastra sebentar, tidur, melongok lagi, kemudian tidur lagi sampai entah kapan (Darma 18983:11-17).
Gejala tersebut bukanlah hal yang baru dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Bahkan bisa dikatakan sudah menjadi kebiasaan dan tak bisa dihindari lagi. Karena sejauh pemahaman saya, mereka yang tidak bisa mempertahankan eksistensinya dalam dunia kepanyairan adalah mereka yang merasa apa yang diinginkannya telah tercapai atau bahkan telah menemukan passion yang lebih nyaman untuk dijalani.

Termasuk penyair yang saya sebutkan di penghantar tulisan ini, tidak menutup kemungkinan, mereka juga akan mengalami nasib yang sama dengan apa yang telah dikatakan oleh Budi Darma tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline