Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Anak Belajar Berbohong?

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kenapa anak berbohong? Tentunya ada banyak alasan yang bisa membuat anak berbohong, bisa karena dicontohkan/disuruh oleh orang tuanya, merasa terdesak supaya tidak dihukum atau dimarahi (karena merasa takut), dll. Yang jelas, apapun itu alasannya, ada proses yang pada akhirnya membuat anak berbohong dan belajar bahwa jujur itu tidak penting.

Alkisah di sebuah sekolah. Ada seorang siswa, sebutlah namanya Fulan. Suatu ketika Fulan ketahuan mencuri uang temannya, lalu dilaporkan pada wali kelasnya. Wali kelasnya bertanya “Benar Kamu mencuri uang temanmu?”. Fulan pun jujur mengaku bahwa dia mencurinya. Setelah Fulan mengaku, sang wali kelas pun menghukumnya. Menghukum atas dasar kesalahan Fulan yang telah mencuri uang temannya. Hanya itu.

Setelah jam sekolah berakhir, Fulan kemudian bermain di sekolah. Tidak langsung pulang. Sebagaimana anak-anak pada umumnya. Bermain adalah sebuah ‘agenda’ wajib yang dinanti seusai jam belajar.

Setelah sampai di rumah, Fulan ditanya oleh orang tuanya perihal keterlambatan pulang. “Dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?” Seperti sebelumnya di sekolah, Fulan jujur bilang pada orang tuanya bahwa dia main dulu bersama teman-temannya di sekolah. Karena tidak suka dengan tingkah anaknya yang telat pulang karena bermain dulu di sekolah, orang tua Fulan pun memarahi dan mengurung Fulan di kamar.

Lagi-lagi, Fulan dihukum karena kejujurannya. Meski kita berpendapat bahwa Fulan dihukum karena kesalahannya, tetap saja kejujuran Fulan dilihat tidak berharga ketimbang kesalahannya. Alhasil, ada hukuman atas kesalahan, tetapi tidak ada penghargaan atas kejujuran. Dengan begitu, untuk apa Fulan jujur?

Kisah seperti ini banyak terjadi di negeri kita. Tentang bagaimana guru dan orang tua yang tidak menghargai kejujuran anak, tetapi hanya melihat sisi yang tidak disukai, lalu menghukumnya. Sekalipun anak jujur untuk sesuatu yang tidak merugikan, sama saja, banyak tidak dihargai. Setelah anak jujur, berlalu begitu saja.

“Dek, tadi nemu dompet ini di mana?” (isinya masih utuh)
“Di dekat kursi, Pak.”
“Oh...”

Banyak juga kisah yang demikian, atau serupa dengan itu. Lagi-lagi, kejujuran kerap tidak dihargai, padahal kebanyakan orang tua menginginkan anaknya jujur. Ironisnya, malah ada orang tua yang menyuruh anaknya untuk berbohong, “Dek, ntar kalo ada telepon dari koperasi, bilang aja mamah lagi pergi ke pasar!” Tetapi bila yang dibohongi anak adalah orang tuanya, si anak malah dimarahi habis-habisan.

Begitu, begitu, dan begitu. Bisakah dibayangkan berapa kali anak dikondisikan untuk berbohong selama tahun demi tahun perkembangannya?

Hal ini diperkuat dengan situasi di masa-masa dewasa, entah itu di pergaulan atau di kantor. Kita bisa banyak mendengar tentang kisah orang-orang yang disingkirkan atau dimusuhi karena jujur di tempat kerjanya. Entah itu langsung dari pegawai kantor, berita, pekerja proyekan, office boy, dll. Dalam pergaulan pun begitu. Biasanya terjadi dalam hubungan lebih dari sekedar teman.

“Eh, lo deket ma dia?”
“Iya, kenapa gitu?”
“Iiiiihh... Kok Kamu deket ama cewek lain sih?!! Kamu kan cowoknya aku!!!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline