AKSI NYATA PROJEK p4 - X3
Implementasi Kurikulum Merdeka
SMAN 5 Cirebon
Menjaga Warisan Budaya, Menjaga Harmonisasi
Disusun oleh tim projek X3 - Perkembangan Tarling Di Era Modern
Halo sobat Kompasiana!!! Dalam artikel kali ini, sebagai bentuk aksi nyata Projek Kearifan Lokal dalam implementasi kurikulum Merdeka, kami akan membahas tentang Tarling-salah satu kesenian tradisional Cirebon. Nah sobat, ternyata musik Tarling adalah kesenian yang berkembang di wilayah pesisir Utara (pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Cirebon dan Indramayu.
Nama Tarling sendiri berasal dari instrumen musiknya yaitu gitar dan suling, dari segi filosifinya Tarling adalah kepanjangan dari "sing nelantar kudu eling" artinya: "yang merantau harus ingat" maksudnya adalah mengingatkan para perantau yang berasal dari wilayah pesisir Utara untuk tetap ingat kampung halamannya. Selain itu juga kata eling ini di tunjukkan untuk kita agar selalu eling/ingat kepada Tuhan yang Maha Esa.
Asal mula kesenian Tarling muncul di wilayah pantura Jawa Barat kurang lebih pada tahun 1931 (saat masa penjajahan Belanda) pada masa itu Tarling di gunakan sebagai media hiburan bagi rakyat untuk mengisi kejenuhan pada saat di jajah. Musik Tarling mulai digandrungi pada tahun 1935. Alunan Tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai gong.
Kemudian pada 1986, alunan Tarling di lengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi. Namun nama Tarling pada saat itu belum digunakan sebagai jenis aliran musik. Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk wilayah Cirebon.
Dan nama Tarling baru diresmikan saat RRI sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962 meresmikan nama Tarling sebagai nama resmi jenis musiknya. Diceritakan Oleh Mang Sugra (anak dari Mang Sakim) kepada Sunarto Martaatmaja alias Kang Ato Ayame ilang (maestro TARLING).
Seorang Residen Belanda (tidak diketahui namanya) meminta tolong kepada warga setempat yang bernama Mang Sakim, untuk memperbaiki gitar miliknya. Mang Sakim waktu itu dikenal sebagai ahli gamelan. Usai diperbaiki, sang Residen Belanda itu ternyata tak jua mengambil kembali gitarnya.
Kesempatan itu akhirnya dipergunakan Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada gitar, dan membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan. Mang Sakim waktu itu dikenal sebagai ahli gamelan. Usai diperbaiki, sang Residen Belanda itu ternyata tak jua mengambil kembali gitarnya.
Kesempatan itu akhirnya dipergunakan Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada gitar, dan membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan. Hal itupun dilakukan oleh anak Mang Sakim yang bernama Sugra.