Lihat ke Halaman Asli

Adithia Andrian Rizky

Mahasiswa Unand Sastra Jepang

Hubungan Cabai dengan Minangkabau

Diperbarui: 11 Maret 2021   01:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

'Makan nasi indak pakai samba teraso hamba' atau 'aa raso makan indak jo samba'(makan nasi tidak pakai sambal terasa hambar atau apa rasanya makan tidak pakai sambal),yap itulah yang dikatakan oleh kebanyakan anggota keluarga saya yang berdarah Minang, makwo(bibi) dan pakwo(paman)selalu memarahi saya,karena hanya saya sendiri yang tidak suka pedas bahkan menghindari makan masakannya.Dan selain itu,setiap keluarga Minang yang saya temui dan saya makan semua masakan lauk pauk atau sayurnya pasti berwarna merah bahkan hijau,ya saya tau pasti terdapat cabai merah atau cabe rawit yang banyak di masakan tersebut.

Lalu terpikir oleh saya mengapa cabai sangat istimewa dengan masakan padang yang hampir disetiap tempat ada rumah makan Padang dan apa hubungannya?

Secara historik pada sekitar abad 15-16 Portugis datang ke Indonesia tepatnya di Malaka untuk melakukan perdagangan,karena Minangkabau terletak di perlintasan rute perdagangan pada masa lalu,maka masuklah rempah-rempah(terutama cabai) dari negeri asing tersebut ke Minangkabau.Menurut sejarawan Fadly Rahman menuturkan,pada masa itu sekitar sebelum abad ke-16,kuliner Minangkabau belum seperti yang kita kenal sekarang.Sebelum masuknya cabai,masakan Minang hanya nasi,ikan atau daging dan sayuran yang dimasak dengan sederhana tanpa menggunakan cabai.Kari dan gulai sendiri merupakan pengaruh kebudayaan dari India yang sedang berdagang pada saat itu.

Kalau dipikir-pikir mengapa orang Minang menyukai cabai adalah karena daerah tempat tinggal mereka yang dingin dan sejuk membuat makanan yang dipadukan dengan cabai terasa sangat nikmat.Hal ini lama-kelamaan menjadi kebiasaan yang turun-temurun dan makanan seperti rendang,gulai asam padeh,dan masakan pedas lainnya lahir dan sangat populer sehingga merambat ke berbagai daerah.

Pada saat saya dan teman-teman saya yang rata-rata adalah orang Minang datang ke acara nikahan Sunda kakak teman  kami,kamipun disuguhkan dengan nasi liwet beserta sambalnya dan bagi yang pedenya tinggi bisa langsung ambil seblak ditempat yang sudah disediakan.Salah satu teman saya pun membawakan seporsi seblak untuk dicicipi,setelah dicicipi ternyata teman saya dari Minang menjadi ketagihan dengan makanan tersebut hingga bercucuran banyak keringat.Ia mengatakan bahwa pedasnya emang beda dengan masakan Minang dan terasa sangat pedas jika dimakan perlahan-lahan.lalu teman-teman saya yang lainnya juga ikut mengambil seblak.Semenjak hari itu biasanya akhir pekan kami pergi ke warung seblak,ya saya hanya ikut pergi saja tanpa membeli seblak.

Kebanyakkan masakkan Minang menggunakan cabai merah keriting dan menggunakan santan.Namun ada juga yang menggunakan cabai rawit dikerenakan lebih terasa pedas dari pada  cabai merah.Setiap orang memiliki tingkat kepedasannya sendiri.Dan tidak semua orang Minang atau Padang suka yang terlalu pedas,ada yang hanya merasai cabai tersebut bukan pedasnya.

Tidak hanya itu saja,dari artikel yang ditulis oleh Evi Idranwanto saya baca bahwa dalam antrpologi,kebudayaan dianngap sebagai suatu kumpulan dari gejala-gejala tertentu yang diorganisir melalui pola perilaku,benda-benda,ide-ide,kepercayaan dan perasaan.Halnya dengan cabai,selain rasa pedas,saya pikir ada hubungan istimewa dengan antara warna merah di cabai dengan adat istiadat Minagkabau.Memang ada menu yang menggunakan cabai hijau seperti pangek itik,tapi tidak umum.Merah kita temukan pada tenunan seperti pada pakaian adat dan ukiran-ukiran di rumah gadang.Mereka pasti memiliki keterkaitan makna satu sama lain.Dan cabai sendiri sudah disimbolkan oleh alim ulama yang memiliki sifat pedas dan tegas.

Jadi orang Minang sangat dekat dengan cabai karena dari rasa cabai itu sendiri,rasa pedas yang menghangatkan tubuh bahkan dirasa nikmat walapun menyiksa lidah,dan sudah melekat dengan budaya itu sendiri.Oleh karena itu bersyukurlah dan berterima kasihlah kepada orang yang telah melakukan perdagangan di Malaka pada saat itu,hingga terciptanya Rumah Makan Padang yang kita kenal pada saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline