Lihat ke Halaman Asli

Aditya Rahman

Komunitas Ranggon Sastra

Ramah yang Marah

Diperbarui: 9 Juni 2021   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pengembara itu datang. Benar yang orang-orang katakan tentangnya. Rupanya persis seorang pembunuh.

Pengembara itu terus berjalan. Ia tidak menggubris orang-orang tua di desa Beku, yang langsung masuk ke dalam rumah saat itu juga, ketika ia melintas di hadapannya.  

Agaknya, ia berjalan seperti orang linglung. Dengan ransel dekil dan bau amis darah, bertumpu di bahunya. Bau amis itu sangat menyengat ketika ia melintas. Terdapat pula rambut-rambut yang mengintip dari dalam ranselnya, seperti rambut manusia. 

Bau amis darah tercium menyengat jauh, jaraknya. Dan bau amis itu pula yang membuat anak-anak kecil lari kocar-kacir menyudahi permainannya. Mereka segera masuk ke rumah, menutup pintu, dan sepi. 

Pengembara itu hanya tersenyum melihat tingkah mengesalkan anak-anak itu. Mungkin mereka menganggap pemgembara itu seperti mayat hidup. Dengan bau amis darah, Golok di pinggang, dan siap menculik mereka, lalu memakan mereka hidup-hidup. Namun, ia tidak menganggap serius tingkah anak-anak yang ketakutan itu. 

Hal ini di luar dugaannya. Ia kira, akan melintasi sebuah desa dengan penduduk ramah, terdapat pula sungai jernih tempat anak-anak kecil berenang dan tertawa riang di sana. Dugaannya salah, desa ini jauh berbeda dengan desa Harum, dan hampir sama sikapnya dengan desa Separuh yang ia lewati, setelah itu. 

Penduduk desa Harum cukup ramah. Entah itu Ibu-ibu, Bapak-bapak, maupun anak-anak, Meski tak ada sungai, kebun sayur-mayur, dan sawah. Pengembara itu tetap menikmatinya. Banyak di antara penduduk desa itu yang mendesak mampir ke rumah mereka; menyuguhkan makanan, bahkan ada pula yang membawakannya perbekalan. 

Desa Separuh yang ia lewati kemudian, jauh berbeda dengan desa Harum. Namun, desa Separuh, masih jauh lebih baik ketimbang desa Beku, yang ia lewati sekarang. Walaupun setengah dari sikap penduduk desa Separuh hampir sama seperti desa Beku. Cuek.

Tidak sedikit pula penduduk desa Separuh yang ramah terhadapnya. Di sana Ia masih melihat senyum-senyum yang terpapar, meski beberapa saja. Sangat jauh berbeda dengan desa Beku yang semua penduduknya terlihat sinis, sekali pun itu anak kecil. 

"Desa yang aneh. Benar-benar aneh" Gerutunya. 

Keadaan desa seperti inilah yang membuatnya jengkel. Padahal, tidak satu pun penduduk yang mengenalinya. Pengembara itu benar-benar keheranan atas segala sikap yang dimunculkan oleh penduduk desa ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline