Lihat ke Halaman Asli

Balada Wartawan Bayaran; Mafia Media Massa

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu ketika di negeri para koruptor, tersebutlah tiga orang pekerja media yang sedang senang-senang berbincang di sebuah meja kafe tempat ngopi para eksekutif. Boy, ia seorang reporter dari salah satu harian ternama di negeri para koruptor, mengumpat para anggota dewan yang telah akrab menjadi kawan. “Anjing itu anggota dewan. Korupsinya gila-gilaan, rumah mewah tiga, mobil balapnya dua puluh,” cerca Boy kepada asap rokok yang dilontarkannya ke udara di depan wajah. Boy meminum kopi hitam pahit; espresso.

“Terus, lo tulis itu koruptor?” tanya Joko, seorang kordinator lapangan (korlap) khusus mengurus perkara suap menyuap. Siapa yang disuap? Wartawan! Ia menghirup capuccino yang choco granule di atas krim bergambar pistol. Ia juga seorang wartawan, yang tak jelas apa medianya. Di negeri para koruptor, seorang diri pun mendirikan media itu sah-sah saja. Asal berpihak pada uang haram.

“Ya enggaklah. Kan gue dijamin sama doi,” Boy melepas tawanya membumbung ke udara. Bersama asap rokok kretek dan aroma kopi pahit. Jaminan koruptor itu kepada Boy, sebagian kecilnya digunakan untuk mentraktir dua orang temannya minum kopi di kedai kopi mahal.

“Lo ngapain sih, bos? Sibuk amat.” Boy gemas seorang kawan seperjuangannya, seperjuangan mencari uang suap, tak ikut tertawa dengan hal tak lucu yang baru saja ia tertawakan. Rosi, ia memesan kopi tubruk. Tapi belum disentuh sepinggir cangkir pun karena dirinya masih sibuk dengan BlackBerry di tangannya.

“Bentar, ini anak buah gua bego banget. Gua suruh dateng liputan peluncuran henpon dia malah alesan sakit, gua lagi marah-marahin dia,” kata Rosi sang redaktur sebuah media online di negeri para koruptor.

“Berapaan sih itu jaleannya? Sampe satu ton?” tanya Joko kepada Rosi.

“Nggak lah, cuma lima literan aja.”

“Alah cuma segitu, masih aja lo mainin? Itu mah kelasnya recehan.”

“Lumayan, bos. Selain lima liter masuk rekening gua, plus dikasih hape yang dilaunching buat gua.”

Bagi Kau yang tak paham pembicaraan dua wartawan sogokan di atas, biar aku berikan kamusnya. Liter yang dimaksud adalah bilangan dalam ratusan ribu. Dan satuan ton berarti juta. Semua dalam rupiah. Mata uang negeri tetangga yang sangat berarti dipergunakan di negeri para koruptor. Dan yang dibicarakan di sini adalah Jale, atau plesetan dari kata Jelas, yang memiliki arti sebagai kejelasan sebuah nominal rupiah yang dijanjikan apabila sebuah isu dinaikkan ke suatu media massa. Ya, di negeri para koruptor, yang kebanyakan orang-orang hidup hanya untuk uang, semua orang bisa dibayar. Termasuk media massa yang katanya merupakan salah satu pilar demokrasi, dan katanya sebagai tempat yang berpihak kepada masyarakat banyak, yang berpihak kepada kebenaran. Di negeri para koruptor, pekerja media massa mudah dibayar untuk menaikkan isu yang tak berisi namun berarti bagi perusahaan bisnis untuk menjatuhkan para rivalnya.

Rosi, adalah wartawan sogokan yang memiliki kekuasaan lebih sebagai redaktur. Dengan posisinya sebagai atasan para reporter, ia bebas menugaskan wartawan bawahannya untuk meliput acara-acara perusahaan yang mau memberikan bayaran asal beritanya naik di media. Simpelnya, Rosi hanya tinggal perintah, bersantai-santai di kantor sementara reporternya turun ke jalan melakukan liputan hingga membuat berita, setelah berita naik Rosi hanya tinggal menikmati uang haram mengalir ke rekeningnya tanpa ia bersusah payah. Sekali naik satu berita Rosi biasa mendapat lima liter, alias lima ratus ribu rupiah. Sementara dalam satu minggu ia bisa mendapat pesanan empat berita dengan masing-masing berita dihargai lima liter. Coba hitung berapa yang akan ia dapat jika sebulan ada empat minggu, yang di tiap minggunya Rosi mendapat pesanan empat berita masing-masing seharga lima liter. Delapan ton, alias delapan juta. Bagi Rosi yang hanya mendapat gaji sebesar tiga jutaan di kantornya, jumlah itu sudah lebih dari lumayan untuk menambah biaya untuk membeli beras untuk keluarga, membeli susu untuk anak-anaknya, dan sebagian disisihkan untuk orang tua. Jangan anggap Aku berbohong. Ini nyata di negeri para koruptor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline