Berada di wilayah perkotaan membuat sebuah daerah dapat secara cepat menerima perubahan dan teknologi yang ada. Perubahan akibat pesatnya perkembangan teknologi di zaman ini seringkali membuat keaslian dan ketradisionalan suatu daerah memudar.
Memudarnya ketradisionalan suatu daerah tidak jarang membuat kita sebagai generasi penerus bangsa merasa resah akan apa yang terjadi kedepannya. Namun persoalan mengenai pudarnya ketradisionalan suatu daerah nyatanya tidak terlalu berlaku kepada Kampung Cirendeu.
Kampung Cireundeu merupakan sebuah daerah yang berada di Kelurahan Leuwi Gajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan narasumber yang ada yaitu Abah Widi sebagai salah satu keturunan pemegang adat di Kampung Cirendeu, asal nama Cireundeu ini berasal dari "Ci" yang memiliki arti air dan "Reundeu" yang dahulu ditemukan pohon rendeu di daerah tersebut.
Kedua kata ini apabila digabungkan lebih memiliki arti "menitipkan sumber air dan pepohonannya". Hal ini juga berhubungan dengan adanya persepsi bahwa segala sesuatu tentang adat memiliki kaitan dengan alam.
Anggapan alam adalah segalanya nyatanya membawa Kampung Cireundeu kepada sebuah keunikannya sendiri. Salah satu keunikan dari kampung ini yaitu tidak dikonsumsinya beras sebagai makanan pokok dan menggantinya dengan olahan singkong yang disebut rasi.
Teralihkannya beras dengan singkong sudah dimulai sejak tahun 1918. Alasan tidak dikonsumsinya beras sebagai makanan pokok diyakini sebagai sebuah tuntunan atau sebuah pemahaman.
Hal ini karena Indonesia sangat bergantung dengan beras, kemudian apabila kita bergantung dengan beras kita juga perlu untuk melihat keadaan alam. Keadaan alam di kota saat ini sudah tidak terlalu nampak adanya wilayah persawahan sehingga singkong dirasa merupakan pilihan yang tepat dalam hal pengganti beras sebagai makanan pokok.
Berbicara mengenai perubahan yang terjadi, harapan Abah Widi tentu saja ingin adanya perubahan di Kampung Cirendeu. Perubahan yang mengikuti zaman dikarenakan adanya cerita dalam adat yaitu "Meindung ka waktu, Mibapa ka zaman".
Meindung ka waktu memiliki arti menjaga tradisi seperti bahasa, aksara, kesenian yang sudah ada dari abad 16, yang saat ini dapat menjadi lebih muncul, lebih bagus dan lebih variatif sesuai dengan pernyataan Mibapa ka zaman. Adanya perubahan di Kampung Cireundeu meskipun dijadikan destinasi wisata edukatif dikarenakan tidak adanya penolakan dalam kemajuan zaman serta teknologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H