Lihat ke Halaman Asli

Lisa Adistiarini

Karyawan Swasta

Menikah, Menyempurnakan Separuh Agama atau Tekanan Sosial?

Diperbarui: 7 Desember 2018   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pernikahan (Foto: Thinkstockphotos.com)

Dalam kehidupan seseorang  (khususnya  dewasa) pastinya ada keinginan untuk menikah. Apalagi  pasangan yang udah merencanakan pernikahannya. Umumnya, menikah merupakan proses menyempurnakan separuh agama. Tapi, entah mengapa orang-orang jaman sekarang rata-rata kebelet ingin menikah.

Memang sih dorongan kanan-kiri keluarga, teman dekat, dll terkadang  membuat muak. Bahkan jadi berpikir, "Ya udahlah, asal nikah aja!".

Hei! Nikah itu gak mudah. Nikah itu bukan hanya perkara bersama, menghindari zina atau hanya pemenuhan kebutuhan biologis. Nikah itu perlu kesiapan yang sangat matang. Kesiapaan soal keyakinan, pemikiran, kesehatan, dan finansial.

Tapi kaget juga sih cara berpikir orang-orang, khususnya perempuan dengan yakin dan sadar, kalau menikah itu dapat disetarakan dengan kesuksesan.

Setelah saya amati ternyata macam-macam alasannya. Alasan itu diantaranya..
X: "Seneng banget kayaknya berduaan terus, ada teman ngobrol, jadi semua beban terbagi".
Y: "Bosan karena kesepian terus. Sementara teman-teman yang lain udah pada nikah".
Z: "Udah ngerasa cocok aja sama pasangan. Malu, tiap upload foto ke Instagram banyak yang comment 'ditunggu undangannya'".

Hmm.. berkaitan dengan tulisan saya sebelumnya, bahwa saya vakum main Instagram karena saya ingin mengurangi ketergantungan dengan media  sosial. Tapi melihat kondisi seperti itu, justru media sosial dijadikan sebagai ukuran pembanding dengan kehidupan orang lain. Contohnya seperti  yang disebutkan Z, keinginan (yang tercampur dengan tekanan) menikah supaya bisa share moment wedding di media sosial, terutama Instagram.

Saya paham, sebagian orang-orang yang tumbuh besar dengan media sosial  itu mencerminkan realita kehidupannya. Padahal yang di-posting itu adalah potongan realita yang belum tentu nyata.

Cukup sulit kalau hanya melihat sepotong realita itu lalu mempercayainya  gitu aja. Bayangkan, dari konsumsi media sosial, terutama Instagram yang menampilkan pernikahan sebagai 'barang dagangan utama'. Sementara  caption yang ditulisnya pun tentang indahnya kisah kasih pasangan itu. Pembaca pasti akan berpikir kalau itu adalah nyata.

Menurut saya, alasan tiap orang menikah mau kayak apa juga boleh, selama gak ada pihak yang disakiti dengan sengaja.

Tapi, dari cerita yang saya temukan, yang ingin buru-buru nikah ini merasa stress dan merasa bahwa status menikah itu menjadi tolok ukur mereka dalam menilai self-worth masing-masing. Mereka minder dan  terjebak pada kesedihan itu. Nah, mungkin dengan mencoba memahami alasannya, kita jadi bisa saling support.

Misalnya support dalam bentuk sharring, siapa tahu kita sebagai temannya bisa memberikan perspektif lain. Bisa juga support dalam bentuk empati, kita memahami perasaan orang lain sebelum tanya-tanya soal target  menikah. Dan yang jelas support dalam bentuk gak menghakimi. Karena  siapa sih yang ingin tertekan gini?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline