Lihat ke Halaman Asli

Rindu Ayah

Diperbarui: 30 Oktober 2022   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Duaaar" Petir memecah lamunanku. Suaranya sangat menggelegar, cahayanya menembus ke kamar. Hati tertekan takut tersambar. Seandainya ada penangkal, mungkin rasa gusar menjelma damai.

Penangkal itu telah pergi dan tak kembali, biasanya sejak kecil sampai dewasa, saya selalu berlindung di dekapan Ayah. Sekarang yang ada hanyalah sisa-sisa kenangan saja. Kenangan ini masih membekas seperti guratan yang sangat dalam.

Setiap kali aku melihat kursi tua itu, aku melihatmu. Setiap kali aku melihat toko itu, aku melihatmu. Setiap kali aku melihat ruangan itu, aku melihatmu. Aku jarang sekali melihatmu tersenyum. Tapi, sekalinya terlihat. Itu sangat indah. Seperti orang tua yang pertama kali melihat bayi pertamanya lahir.

Dalam perjalanan ini, kau ibarat kompas, pedoman arah disaatku tak terarah. Kau ibarat awan, yang menaungiku dari teriknya kehidupan. Sekarang awan itu menjadi hujan yang amat deras.

Kau telah menanggung banyak bebanku, sampai tak sadar bebanmu sudah sebesar bulan. Urat-urat di tanganmu sudah sangat kencang. Pundakmu sudah gemetar karena saratnya beban. Keriput di wajamu sudah sangat jelas.

Kini kau telah pergi, dan itu abadi. Kenangan demi kenangan telah menjelma rindu. Semoga rindu ini sampai kepadamu. Rindu yang kuletakan dalam lukisan, dan rindu yang ku siratkan dalam tulisan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline