Kumulai dengan Bismillahirrahmanirrahim, keyboard ini kembali kusentuh dengan mencoba menyusun huruf demi huruf, kata demi kata akhirnya menjadi kalimat terkhusus dalam kolom Kompasiana kali ini.
Baru beberapa menit saya masuk lagi pada akun Kompasiana saya. Alhamdulillah puji syukur ternyata masih bisa walau sambil harus melengkapi data lainnya. Saya lihat postingan terakhir saya di tahun 2013 lalu.
Ya tulisan tentang Bahasa Banjar, tulisan itu adalah merupakan tugas saya sebagai wartawan lepas majalah berbahasa Inggris versi bahasa Indonesia sebelum saya kirim ke teman di majalah tersebut.
Saya sempat lama vakum dalam menulis karena alasan klasik, sibuk. Padahal ide untuk menjadi sebuah tulisan selalu lewat dan terlintas di depan mata dan pikiran.
Tidak perlu harus meluangkan waktu dengan leluasa sebenarnya kita bisa menulis. Hanya kemampuan kita mengendalikan diri dan memaksa untuk menulis. Kata guru saya, tulis apa yang ingin ditulis maka jadilah tulisan, gampang banget kan? Malam ini saya buktikan lagi.
Memang menulis sangat menyenangkan, kita bisa menuangkan semua apa yang ada di pikiran kita, di dada kita, di sanubari kita, di otak kita, di wacana kita, di hal-hal yang dibicarakan orang, ide orang, inisiatif orang dan lain sebagainya.
Menulis merekam apa yang ingin kita sampaikan, karena boleh jadi kita jadi lupa yang pernah terlintas dipikiran kita. Menulis menjadi sarana kita bernostalgia dengan ide, perasaaan kita waktu kita menulis yang kita tulis. Asyik kan?
Setelah akun blog Tagayan Hijau saya hangus, semangat menulis saya benar-benar dwonload saat itu, sesekali saya mencoba menulis artikel lagi di tahun 2017, 2018 dan 2019 yang akhirnya terbit di media harian lokal di Banjarmasin.
Kenapa kok bisa tertarik lagi mencoba menulis? Saya mempunyai dua anak, laki-laki keduanya. Satu kelas 6 SD dan satunya baru TK B. Anak saya pertama rupanya tertarik untuk membaca macam-macam buku, novel, komik, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
Bahkan dia tertarik dan mampu menyelesaikan sebuah novel. Sebagai bentuk penghargaan dan dukungan kami sebagai orangtuanya maka coba terbitkan dengan penerbit indie lokalan Kalimantan Selatan. Novel itu berjudul Play Armada karya anak pertama kami Muhammad Hadziq Averroes.
Saya tawarkan kerekan-rekan kerja dan di media sosial, lumayan yang berminat memilikinya sekitar 60 orang lebih.