Desa yang dulunya hanya menjadi tempat tinggal pribadi, keluarga, dan masyarakat setempat kini berubah menjadi destinasi wisata dengan potensi ekonomi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun, perubahan ini tidak datang tanpa tantangan. Salah satu hambatan utama dalam pengembangan desa wisata adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan keterbatasan penguasaan bahasa Inggris.
Ketika sebuah desa bertransformasi menjadi destinasi wisata, ia tidak lagi hanya menjadi rumah bagi penduduk setempat, tetapi juga bagi wisatawan dari berbagai belahan dunia. Desa tersebut harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan global, terutama dalam hal komunikasi dan pelayanan. Namun, rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya kemampuan berbahasa Inggris seringkali menjadi penghalang besar bagi masyarakat lokal untuk berperan aktif dalam industri pariwisata ini.
Dalam rangka mengatasi tantangan ini, perlu dilakukan perubahan paradigma. Masyarakat desa perlu mulai melihat desanya sebagai rumah bagi warga dunia, bukan sekadar tempat tinggal lokal. Namun, penting untuk diingat bahwa pengembangan desa wisata tidak boleh melupakan akar budaya dan kearifan lokal yang menjadi identitas unik desa tersebut.
Peningkatan akses pendidikan dan pelatihan memang penting, khususnya dalam bidang pariwisata dan bahasa Inggris, tetapi harus diimbangi dengan pelestarian dan pengembangan kearifan lokal.
Masyarakat desa harus tetap menghargai dan mempromosikan budaya lokal mereka, seperti tradisi, bahasa daerah, seni, dan kerajinan tangan, sebagai daya tarik utama bagi wisatawan. Dengan demikian, pengembangan desa wisata tidak hanya tentang menyesuaikan diri dengan kebutuhan global, tetapi juga tentang menonjolkan kekayaan budaya lokal yang unik.
Membangun sumber daya manusia (SDM) desa menjadi langkah awal yang esensial sebelum membangun infrastruktur fisik. Ini berarti kita perlu mempersiapkan masyarakat desa melalui pendidikan dan pelatihan, tidak hanya dalam keterampilan pariwisata dan bahasa asing, tetapi juga dalam melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal. Masyarakat desa yang terlatih dan sadar akan kekayaan budayanya akan mampu menciptakan pengalaman wisata yang autentik dan berkesan bagi para pengunjung.
Dalam konteks ini, dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak terkait sangat dibutuhkan. Program-program pelatihan yang berfokus pada pengembangan keterampilan bahasa, pemahaman pariwisata, dan pelestarian budaya harus diperkuat. Kolaborasi antara desa, lembaga pendidikan, dan komunitas budaya setempat juga menjadi kunci untuk mempercepat transformasi ini.
Tidak bisa diabaikan, bahwa salah satu komponen penting yang menjadi penyebab kolaborasi itu bisa terjadi adalah dana. Dana yang masuk ke desa tentu memiliki batas, dan karena itu, pengelolaannya harus strategis.
Dana tersebut sebaiknya disalurkan pada titik-titik yang memiliki dampak besar bagi kemajuan desa dan pertumbuhan ekonomi masyarakatnya. Dengan membangun SDM yang kuat dan memperhatikan kearifan lokal, kita menyiapkan pondasi yang kokoh bagi perkembangan desa itu sendiri.
Seperti dalam lagu Indonesia Raya yang mengajak kita untuk "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya," desa wisata harus mengikuti prinsip yang sama. Membangun jiwa masyarakat melalui pendidikan, pelatihan, dan pelestarian budaya adalah langkah awal yang krusial sebelum membangun infrastruktur fisik. Dengan begitu, desa tidak hanya siap menyambut dunia, tetapi juga mampu memanfaatkan peluang ekonomi global untuk kesejahteraan bersama tanpa kehilangan jati dirinya. (*)