Lihat ke Halaman Asli

Adi Prayuda

Seorang dosen, penulis, dan murid meditasi

Sebelum Menilai Orang, Pahami Dulu Hal Berikut

Diperbarui: 12 November 2022   09:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Simon Hurry (unsplash.com)

Seorang Sufi ditanya tentang dua jenis manusia: Yang pertama, orang yang rajin beribadah, namun angkuh dan merasa diri paling suci; yang kedua, orang yang jarang beribadah, namun rendah hati dan cinta sesama. Mana yang paling buruk?

Sang sufi dengan tenangnya menjawab, "Yang paling buruk adalah kita, orang ketiga, yang merasa memiliki kuasa untuk menilai orang lain dan sangat jarang menilai diri sendiri.

***

Menilai. Itulah salah satu aktivitas yang "disenangi" pikiran kita. Hampir setiap hari ada saja yang bisa kita nilai. Menilai cara orang melihat dan memperlakukan kita. Menilai rasa makanan yang kita makan dan membandingkan rasanya dengan makanan sejenis di tempat lain. Menilai bagaimana orang lain menilai kita ketika menggunakan pakaian tertentu. Menilai kinerja seseorang. Menilai kemampuan akademik murid-murid. Membandingkan kebahagiaan kita dengan kebahagiaan orang lain. Membandingkan kesedihan kita dengan kebahagiaan orang lain yang kita sangka sendiri. Membandingkan berat badan kita dengan berat badan ideal seorang artis. Membandingkan kehebatan seorang guru dengan guru yang lain. Membandingkan ilmu seseorang dengan ilmu yang kita kuasai. Membandingkan pahala dari suatu aktivitas dengan pahala dari aktivitas yang lain. Dan tentu masih banyak lagi penilaian dan pembandingkan yang seringkali kita lakukan dalam keseharian.

Tidak semua penilaian yang kita lakukan itu memberikan efek penderitaan kepada diri sendiri. Adakalanya justru penilaian itu "harus" kita lakukan dalam rangka mengukur sesuatu dan mendapatkan bentuk yang paling sesuai kebutuhan. Menilai dan membandingkan adalah dua hal yang hampir selalu bersama. Kita menilai sesuatu dan hasil penilaian itu kita bandingkan dengan sesuatu yang lain. Kadang kita membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang sebanding, "sekasta", atau pas untuk dibandingkan, tapi kadang juga tidak. Mana yang lebih sering? Itu kembali kepada pribadi kita masing-masing. Yang paling penting diketahui adalah bahwa kita seringkali menilai sesuatu dan penilaian kita jugalah yang membuat kita sedih atau senang.

Apakah hati kita perlu membanding-bandingkan sesuatu? Ayo kita renungi sejenak. Yang perlu itu sebenarnya bukan hati kita, tapi pikiran. Pikiran perlu bentuk, perlu angka, dan perlu konsep atau definisi untuk mengenali sesuatu. Bahkan cinta dan kebahagiaan pun harus didefinisikan agar pikiran mengerti. Pikiran perlu menilai bahkan untuk sesuatu yang sebenarnya tidak ternilai. 

Apa yang sudah dikenali itu bisa dibandingkan dengan sesuatu yang lain melalui penilaian dan pengukuran dengan metode tertentu. Pikiran selalu butuh metode untuk menyelesaikan sesuatu, ada langkah-langkahnya, ada tingkatannya, ada tangganya. Di lain sisi, hati "berbahasa" dengan cara yang berbeda dibandingkan pikiran. Hati punya "logikanya" sendiri. Jawabannya muncul sekelebat begitu saja, "tanpa metode", ketika pikiran kita tidak begitu bising. Kalau jawaban itu mulai dipertanyakan, akhirnya pikiranlah yang selanjutnya mengambil kendali kembali.

Pertanyaannya kemudian adalah bisakah kita bahagia melalui proses membandingkan?

Pikiran tentu tidak bisa begitu saja menerima bahwa untuk berbahagia, kita hanya perlu bersyukur. Itu terlalu "sederhana" bagi pikiran. Pikiran senang hal-hal rumit, karena semakin rumit, semakin pantas. Untuk sakit yang parah, obatnya juga harus mahal. Masalah yang rumit harus diselesaikan dengan cara yang rumit pula. Untuk mencapai kebahagiaan yang besar, butuh pengeluaran yang besar. Semua itu agar sesuai dengan kepantasan. Itulah kenapa, kalau pikiran tidak diawasi, kita bisa terjebak pada pola-pola pencapaian kebahagiaan yang justru menyita banyak tenaga..dan juga uang. 

Kebahagiaan seperti ada tingkatannya, padahal tingkatan itu dibuat oleh pikiran, kemudian kita diajak untuk menaiki satu per satu anak tangga. Dan itu adalah anak-anak tangga yang tidak ada ujungnya! Kita bisa saja senang ketika mendapatkan sesuatu yang terbaik melalui proses pembandingan, tapi belum tentu bahagia. Rasa syukur yang muncul karena pembandingan adalah syukur yang amatiran. 

Kebahagiaan tidak dicapai dengan cara membandingkan. Kesenangan yang kita dapat dengan cara membandingkan hanya lewat sementara saja, setelah itu kita sibuk dengan pembandingan yang lain. Hati tidak perlu membandingkan. Dia tau mana yang terbaik untuk kita. Dia tau karena memang tau. Yang perlu dilakukan adalah menyadari pikiran yang penuh dengan ketakutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline