Jika kalian penggemar AC Milan sejak era Berlusconi, maka kalian tentu tidak asing dengan nama itu. Berlusconi-Galliani-Milan adalah tiga nama yang tidak dapat dipisahkan. Itu ibara kopi-gula-air panas, ketiganya bercampur menjadi seduhan kopi yang tanpa ampas. Jika kopinya tanpa ampas, bagaimana memisahkannya lagi? Begitulah ketiga nama tadi.
Namun, pada tahun 2016 silam Berlusconi sebagai pemilik AC Milan resmi melepas club ini kepada Yonghong Li si pengusaha dari China. Buat saya hal itu menjadi sangat aneh, ibarat kopi tanpa ampas tadi kok bisa lagi terpisah?
Tapi kenyataannya hal itu terjadi. Berluconi-Galliani berpisah dengan Milan, tapi saya yakin perasaan mereka akan terikat selamanya. Bagaimana mungkin jika kalian telah menghabiskan umur kalian selama 30 tahun bersama Milan, tapi perasaan kalian tidak terikat?
30 tahun lebih Berlusconi memiliki AC Milan. Ia membangun AC Milan dari bawah. Memang tidak dari bawah-bawah amat, tapi dibandingkan dengan puncaknya, Milan tahun 1986 itu ibarat langit dan bumi dengan Milan tahun 2007. Anak-anak 90an yang suka dengan AC Milan hingga sekarang, tahu hal itu. Dan jika disebut nama AC Milan, maka Silvio Berlusconi dan Adriano Galliani juga pasti akan terbawa.
Melihat perjalanan Milan sejak lepas dari Berlusconi memang menyakitkan, tapi mau bagaimana lagi? Saya sebagai penggemar Milan selalu melewatkan weekend dengan menonton Liga Italia setiap minggu sejak tahun 1998. Liga Italia dan Milan menemani perjalanan usia remaja saya dan teman-teman lainnya.
Tiap minggu bareng teman-teman dekat rumah, kami nonton planet football-nya Dik Doang. Tiap selasa kami baca koran Bola. Selalu yang ditunggu adalah berita tentang Liga Italia. Lalu, bisakah kami pindah ke lain hati untuk menyukai club lain?
Mungkin saat ini para milanisti bisa saja pindah ke lain hati, karena Berlusconi-Galliani telah kembali ke serie A. Akan aneh rasanya bila Berluconi dan Galliani menonton pertandingan antara Milan versus Monza. 30 tahun lebih lamanya kedua orang ini bersorak ketika Milan mencetak gol, dan dari wajah mereka terlihat selalu tidak suka jika Milan kebobolan.
Pada pertandingan Milan dan Monza, bagaimana reaksi kedua orang ini melihat Monza membobol gawang Milan, dan bagaimana pula reaksinya ketika Milan membobol gawang Monza. Mungkin mereka sendiri akan bingung, sebetulnya siapa yang mereka dukung? Hal ini antara reflek dan profesionalitas.
Semua milanisti yang masa remajanya di era Berlusconi akan paham dengan perasaan seperti ini. Cukup menggelitik perasaan, satu sisi akan senang bila Milan menang, tapi juga tidak akan marah bila Monza membobol gawang Milan. Bisakah demikian?
23 Oktober 2022, Milan akan menjamu Monza, saya berharap Galliani berada di San Siro. 90 menit pertandingan antara Milan dan Monza di ajang Serie A ini akan menjadi dilema yang sangat aneh bagi penyuka Milan sejak era Berlusconi.
Mungkin yang sering terlihat di tribun San Siro pada saat Milan milik Berlusconi adalah Galliani, seorang kakek dengan kepala botak namun sangat lihai dalam bernegosiasi.