"Nasionalisme tanpa keadilan sosial adalah nihilisme." -Bung Karno
"Pembangunan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa." -Bung Hatta
"Satu nusa satu bangsa, cukup sudah saling mangsa." -Superman Is Dead
Suara-suara dari masa lalu telah memperingatkan kita. Pun dalam suasana zaman sekarang masih ada suara-suara yang memperingatkan kita tentang kondisi bangsa serta pengharapan masa depan bangsa ini. Perkataan Bung Karno dan Bung Hatta dari masa lalu senantiasa bergema di telinga dan sanubari kita. Seperi yang ditulis di atas, mereka mengingatkan kita tentang arti nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial. Sementara, dari zaman sekarang abad ke-21 terdengar pula lirik-lirik dari seniman Indonesia yang kritis terhadap situasi dan kondisi bangsa saat ini. Lirik dalam lagu 'Luka Indonesia' karya band rock asal Bali Superman Is Dead telah memperingatkan kita, yaitu dalam baris '..satu nusa satu bangsa, cukup sudah saling mangsa..". Sebenarnya permasalahan-permasalahan apa yang terjadi terhadap bangsa ini setelah 66 tahun kemerdekaannya? Cukup rumit apabila permasalahan dirinci satu per satu. Pekik kata 'Merdeka!' saja sudah barang tentu tidak menyelesaikan masalah. Tapi dari segala kerumitan masalah yang ada, sebenarnya bangsa ini memiliki akar permasalahan yang sederhana yaitu: kecenderungan individu-individu/kelompok-kelompok yang ada di Indonesia untuk hanya memikirkan kepentingan sempit kelompok, tumbuh-suburnya egoisme individu/kelompok, singkatnya hanya memikirkan kepentingan jangka pendek. Dari sinilah kita harus memerdekakan diri, merdeka dari kepentingan jangka pendek.
Akibat-Akibat
Apa konsekuensi dari adanya pemikiran 'hanya memikirkan kepentingan jangka pendek' ini? Tak dapat pungkiri bahwa sekarang 'tren' yang tumbuh-subuh di tengah-tengah masyarakat dan para pemangku republik ini adalah pemikiran demikian. Hasil nyata (output) dari adanya pemikiran demikian adalah cukup mengkhawatirkan, yaitu 'hadirnya kecenderungan sifat dan perilaku untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan akhir kebanggaan (prestise/kedudukan) individu, kelompok atau golongan masing-masing serta jaminan materi yang berkelimpahan'. Kalau sudah begini, persatuan dan kesatuan bangsa atau nasionalisme sudah tidak ada artinya lagi. Mengorbankan kepentingan bersama jangka panjang (keadilan sosial) dianggap sesuatu yang lumrah. Lebih dari itu, 'diinspirasi' dari pemikiran yang sempit ini, orang-orang/para elit politik/warga masyarakat sudah tidak takut dan malu lagi untuk mengobarkan 'perang' antar sesama elit bangsa dan antar sesama warga bangsa. Akibatnya, dalam proses bernegara dan bermasyarakat, rentan timbul kecurangan-kecurangan, kericuhan-kericuhan, dan saling serang diantara individu atau kelompok satu dengan lainnya yang sepertinya tak berujung dan tak bersolusi. Mari kita periksa bersama lebih lanjut fenomena ini.
Dimulai dari para pemangku negara, yakni para elit-elit pejabat, yang seharusnya memberikan keteladan baik bagi masyarakat. Mari kita awali dengan para pembuat kebijakan yang berada di jajaran eksekutif, yaitu presiden, menteri, dan birokrasi. Merujuk pada pemikiran Bung Karno bahwa "nasionalisme tanpa keadilan sosial adalah nihilisme (omong kosong)", berarti kita patut mempertanyakan setiap kebijakan pemerintah, yakni sejauh mana nasionalisme telah dilekatkan dalam setiap kebijakan pemerintah kita dalam rangka mencapai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah nasionalisme sekarang bisa ditawar-tawar untuk kepentingan jangka pendek sekelompok kecil saja? Sayangnya jawabannya untuk sekarang adalah 'ya' ketika melihat gejala ekstrimisme beberapa organisasi masyrakat (ormas) serta oknum mengatasnamakan agama yang dapat melakukan tindakan sewenang-wenang di masyarakat, menebarkan rasa takut terhadap sesama warga lainnya, dan yang paling parah tidak mengindahkan hukum. Kebijakan serta komitmen pemerintah dalam meneguhkan nasionalisme dan Bhinneka Tunggal Ika masih 'setengah-setengah' ketika dihadapkan pada ormas dan oknum yang berusaha mengobarkan kekerasan, kebencian, dan permusuhan. Entah faktor apa yang membuat pemerintah terlalu gamang, hanya bisa berucap 'prihatin' lalu duduk diam tanpa bisa melakukan tindakan tegas untuk menghalau menyebarluasnya kekerasan, kebencian, dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat. Kemudian lebih dari ini, untuk contoh kebijakan lainnya bisa kita masing-masing rinci dari berbagai aspek, seperi aspek politik, ekonomi, hukum, sosial-budaya, keamanan, hubungan luar negeri, dll.
Lalu bagaimana kita menyikapi kebijakan pemerintah yang ada sekarang dipandang dari aspek ekonomi yang menyangkut kesejahteraan rakyat? Tentunya terlebih dahulu kita beri penghargaan setinggi-tinginya kepada 'sebagian kecil' pembuat kebijakan yang jujur dan mampu menyelesaikan proyek-proyek kenegaraan tanpa ada penyimpangan. Namun demkian, perlu dicatat dan diwaspadai pula bahwa 'sebagian besar' pembuat kebijakan memiliki kecendrungan perilaku korupsi yang melibatkan berbagai komponen penyelenggara proyek negara antara lain komponen birokrasi, partai politik dan kaum pengusaha. Bukan tanpa dasar apabila disebutkan 'sebagian besar' karena penelitian oleh berbagai lembaga internasional telah membuktikan baru-baru ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi. Tentunya kecenderungan korupsi ialah suatu gejala penyakit mementingkan diri atau kelompok sendiri yang memiliki tujuan akhir untuk mempertahankan kebanggaan/kedudukan (prestise) pribadi/kelompok dengan cara-cara yang curang serta/atau untuk mendapat jaminan materi yang berkelimpahan. Singkatnya, perilaku korupsi adalah perilaku sempit-pikir untuk memuluskan kepentingan jangka pendek kelompok tertentu. Alhasil, nasionalisme tak lebih dari sekedar omong kosong dalam kebijakan-kebijakan yang diluncurkan, pada prakteknya kepentingan individu/kelompok tertentu yang berada di atas kepentingan nasional.
Beralih ke gedung parlemen. Teringat perkataan Bung Hatta bahwa "pembangunan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa", maka cerminan dari perkataan Bung Hatta tersebut sekarang ini nyata ada di hadapan kita. Partai politik yang menjamur sekarang berlomba-lomba memenangi pemilu dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab, seperti black campaign atau money politics. Partai politik melakukan pencitraan dan periklanan politik yang semarak, rakyat berbondong-bondong diajak atas nama demokrasi dan kesejahteraan rakyat, tetapi pada akhirnya setelah terpilih mereka membajak demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Bukti-bukti pembajakan itu dapat dilihat dari perilaku elit-elit partai antar kelompok atau faksi yang sering saling serang dan menjatuhkan satu sama lain, yang pada akhirnya berbuah pahit: mandeknya proyek-proyek kesejahteraan rakyat. Belum lagi anggaran proyek negara di parlemen dipermainkan, dibagi-bagi antar kelompok atau faksi untuk kepentingan partai terkait pendanaan untuk pemenangan pemilu berikutnya. Sempit-pikir yang melanda anggota-anggota dewan itu pada akhirnya memang merecoki kesederhanaan demokrasi. Dengan tumbuh-suburnya ego kepentingan antar faksi, maka semakin rumitlah demokrasi itu dijalankan, dan tak jarang menemui jalan buntu. Pengharapan pada 'musyawarah untuk mencapai mufakat' sepertinya sekarang ini sulit terwujud di parlemen karena toleransi dan tanggung jawab politik antar sesama elit masih minim sehingga di dalam banyak keputusan harus diambil jalan 'voting'.
Kemudian dari segi penegakan hukum, mungkin terasa pas untuk mengambil insipirasi dari sebuah baris lirik lagu band rock asal Bali Superman Is Dead (SID). Dalam lagu 'Luka Indonesia' ciptaan SID terdapat baris lirik, 'satu nusa satu bangsa, cukup sudah saling mangsa'. Terlihat cocok dengan apa yang terjadi sekarang di arena penegakan hukum republik ini ketika kasus mafia hukum menyeruak ke permukaan. Mafia hukum adalah salah satu wujud upaya saling mangsa antar kelompok berkepentingan yang sedang dalam proses pengadilan, berusaha menentukan siapa yang benar dan yang salah dengan ukuran kekuatan 'suap'. Kelompok satu ingin memangsa kelompok lain. Ada upaya-upaya terselubung pihak-pihak yang terlibat kasus korupsi untuk menutupi kebenaran dengan tidak memunculkan atau bahkan menghilangkan alat bukti hukum yang sah di persidangan. Badan-badan penegak hukum di negeri ini, antara lain Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK sekarang ini rentan dengan teror penyuapan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dari sini, kredibilitas dan integritas para penegak hukum diuji, apakah mereka akan tunduk pada 'hukum rimba' yang akan memuluskan kepentingan jangka pendek kelompok tertentu ataukah mereka akan tetap setia kepada tujuan jangka panjang republik ini untuk membasmi korupsi.
Yang terakhir, yang paling dekat dengan keseharian kita, adalah pengalaman dan perilaku akar rumput atau masyarakat yang sering terekspos media massa. Masyarakat kita sekarang memiliki kecenderungan 'saling memangsa', seperti yang dinyanyikan SID. Peristiwa konflik kekerasan antar suku, antar mahasiswa, antar siswa/pelajar, antar ormas, antar kampung, dan yang paling memalukan konflik kekerasan mengatasnamakan agama, adalah deretan peristiwa kelam yang kerap mewarnai bangsa ini. Cukup memprihatinkan memang ketika kenyataan ini disandingkan dengan cita-cita bangsa kita 'Bhinneka Tunggal Ika' (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Betapa buasnya perilaku individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia untuk memangsa sesamanya, hal ini dipicu oleh--ujung-ujungnya--kepentingan jangka pendek, tidak jauh-jauh dari tujuan akhir kebanggaan (prestise) kelompok atau materi.