Lihat ke Halaman Asli

Mereka bertanya tentang konsep Theo-Demokrasinya al Maudūdi

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konsepsi al Maudūdi tentang Negara Islam, dengan demikian, didasarkan atas sharī’ah, yang memberikan prinsip-prinsip dasarnya. Dalam perspektif sharī’ah, menurut al Maudūdi, ada empat prinsip yang mendasari Negara Islam: mengakui kedaulatan Tuhan, mengakui otoritas Nabi, mengakui status perwakilan Tuhan, dan menggunakan mushawarah bersama (mutual consultation).  Dari titik pandang prinsip-prinsip ini, kedaulatan yang sebenarnya hanyalah milik Tuhan. Negara hanya berfungsi sebagai alat politik yang dengannya hukum-hukum Tuhan dijalankan, atau, meminjam ungkapan Charles Adams, ia tak punya hak untuk membuat atau menegakkan hukum atas namanya sendiri tapi bertindak sebagai agen dari pusatnya.

Kalau begitu maka Negara Islam yang dikonsepsikanal Maudūdi adalah Negara teokratis. Namun demikian, karena ia juga menekankan prasyarat-prasyarat Islam bagi mushawarah bersama (Sra) diantara umat Islam dalam berbuat, maka negara ini juga punya sifat demokratis. Bentuk negara demikian ini paling baik disebut, sebagaimana disarankan oleh al Maudūdi sendiri, “theo-demokrasi”, yakni “pemerintahan demokratis Ilāhiyah ... dimana umat Islam diberi kedaulatan rakyat terbatas dibawah kemahakuasaan Tuhan. “Dengan theo-demokrasi al Maudūdi ingin mengungkapkan suatu konsep antitesis atas demokrasi Barat sekuler, yang, menurutnya, didasarkan hanya pada kedaulatan rakyat, dan karena itu bertentangan dengan Islam. Negara Islam bertumpu pada dua prinsip: Kedaulatan (sovereignty) Tuhan dan perwakilan (vicegerency) manusia.

Dalam teorinya yang komprehensif tentang hakikat pemerintahan Islam, al Maudūdi juga membahas tujuan pemerintahan Islam ini dan juga sifat-sifat dasarnya. Dengan merujuk pada ayat-ayat al Qur’an, misalnya QS. 57: 25; 22: 41 dan 110, al Maudūdi menyatakan tujuan positif dari Negara Islam, termasuk perlindungan umat manusia dari eksploitasi atau tirani, menjamin kebebasan, dan membangun sistem seimbang mengenai keadilan sosial. Negara Islam, menurut al Maudūdi, bersifat universal dan juga ideologis. Ia universal karena mencakup seluruh aspek kehidupan dan pada hakikatnya bersifat totalitarian. Ia bersifat ideologis dalam pengertian bahwa ia didasarkan atas, atau bekerja demi ideologi tunggal: ideologi Islam (Niam al Islāmi).

Dalam pandangan al Maudūdi, ideologi Islam yang dirumuskan dari elaborasi sistematik atas wahyu al Qur’an, dirumuskan dalam semangat penyerahan pada ke-esa-an dan kedaulatan Tuhan. Ia berfungsi sebagai acuan utama bagi sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya dari negara Islam. Karena, menurut ideologi Islam, kedaulatan dan hak untuk membuat hak hanya milik Tuhan. al Maudūdi menjelaskan bahwa legislasi hukum oleh lembaga-lembaga seperti badan legislatif dan konsultatif dibatasi oleh sharī’ah. al Maudūdi melihat empat bentuk ijtihad dalam proses legislasi yang dilakukan oleh badan konsultatif (ia menyebutnya Majlis Sra): Ta’wil (penafsiran), Ijtihād (“deduksi”), Qiyās (analogi), dan Istiḥsān. Untuk membangun pemerintahan yang berideologi Islam, al Maudūdi melihat perlunya revolusi Islam. Ia yakin bahwa tidak ada perjuangan untuk mendirikan negara Islam yang berhasi tanpa revolusi, karena revolusi ini dapat menciptakan suatu kesadaran sosial dan iklim moral yang sesuai dengan tuntutan ideologi Islam. Keberhasilan revolusi Islam, menurutnya, tergantung pada kondisi dan sikap moral tertentu pendukungnya. Ini mencakup keyakinan pada ke-esa-an dan ke-mahakuasa-an Tuhan, pemahaman yang benar tentang Islam, kesamaan pandangan, kekuasaan hukum yang kuat, dan pengorbanan secara menyeluruh perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan yang individualistik sifatnya. Revolusi Islam al Maudūdi dapat ditempuh dengan jihad, berjuang dijalan dan didalam kehendak Tuhan. Ia menyatakan wajibnya jihad bagi umat Islam untuk menjaga negara Islam.

Selanjutnya al Maudūdi menjelaskan karakteristik negara menurut Islam, sebagai berikut:

1.Tidak ada seorang pun, bahkan seluruh penduduk negara secara keseluruhan dapat menggugat kedaulatan Tuhan. Hanya Tuhan yang berdaulat, manusia hanyalah subjek;

2.Tuhan merupakan pemberi hukum sejati dan wewenang mutlak legislasi ada pada-Nya. Kaum mu’min tidak dapat berlindung pada legislasi yang sepenuhnya mandiri, tidak juga dapat mengubah hukum yang telah diletakkan Tuhan, sekalipun tuntutan untuk mewujudkan legislasi atau perubahan hukum Ilahi ini diambil secara mufakat bulat;

3.Suatu negara Islam dalam segala hal haruslah didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasūlullah. Pemerintah yang akan menyelenggarakan negara semacam ini akan diberi hak untuk ditaati dalam kemampuannya sebagai suatu agen politik yang diciptakan untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan sepanjang dia bertindak sesuai dengan kemampuannya. Jika dia mengabaikan hukum yang telah diturunkan Allah, perintah-perintahnya tidak akan lagi mengikat kaum mu’min.

Secara operasional, pemikiran al Maudūdi membuat kriteria atau syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai sebuah negara Islam (Islami), yang berpijak pada 3 landasan berfikir diatas, sebagai berikut:

1.Negara yang didirikan atas dasar kesadaran suatu bangsa yang merdeka dan bersedia menundukkan kepalanya secara sukarela kepada Tuhan semesta alam, meskipun adanya kenyataan bahwa ia adalah bangsa yang merdeka dengan kemerdekaan penuh. Ia rela menepati kedudukan sebagai Khalīfah, bukan kedudukan sebagai penguasa tertinggi dibawah kekuasaan Allah;

2.Kekuasaan dan kedaulatan hukum tertinggi sepenuhnya adalah kepunyaan Allah;

3.Memiliki sistem pemerintahan yang sesuai dengan pokok-pokok demokrasi. Pergantiannya serta pelaksanaan harus sejalan dengan pendapat rakyat;

4.Suatu negara yang memiliki konsep tertentu serta dikelola oleh orang-orang terpercaya dan ahli dalam bidangnya;

5.Suatu negara yang didasarkan pada ideologi dan tidak didasarkan pada ras, kesukuan, bahasa, atau batas-batas geografis;

6.Memiliki semangat yang tinggi dalam menjunjung tinggi akhlak yang mulia, serta menjalankan peta kekuatan politiknya untuk ketakwaan kepada Allah semata;

7.Memiliki fungsi yang komprehensif, tidak saja menjadi polisi semata yang bertugas menangkap dan memenjarakan orang bersalah, melainkan juga memiliki sasaran dan tujuan dimana kewajiban terpenting adalah menyerukan perbuatan yang baik, melaksanakan keadilan sosial, menyuburkan kebajikan, mencegah kemunkaran dan memberantas kejahatan serta segala bentuk perusakan;

8.Memiliki nilai asasi dalam persamaan hak, kedudukan, kesempatan, serta pelaksanaan undang-undang, saling menolong dalam kebaikan dan takwa, memiliki kesadaran akan tanggungjawab dihadapan Allah, kesesuaian antara individu dan masyarakat;

9. Memiliki sistem keseimbangan dalam melaksanakan hubungan antara kepentingan individu dengan kepentingan negara sehingga tidak menjadikan negara sebagai penguasa mutlak yang dapat berbuat apa saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline