Lihat ke Halaman Asli

Kecerdasan Artifisial dalam Dunia Ketenagakerjaan dan Seni: Antara Manfaat dan Tantangan

Diperbarui: 25 Juni 2024   23:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Kecerdasan artifisial (AI) membawa dampak besar di berbagai sektor, termasuk ketenagakerjaan. Agar AI memberikan manfaat maksimal, diperlukan kebijakan ketat melalui negosiasi kolektif antara pekerja, korporasi, dan penyedia teknologi AI. Hal ini ditekankan oleh Celeste Drake, Deputi Direktur Jenderal International Labour Organisation (ILO) - PBB, dalam forum "Artificial Intelligence and Implications on the Indonesian Labour Market" di Jakarta, Kamis (20/6/2024).

Drake menegaskan bahwa kebijakan serius mengenai ketenagakerjaan harus dilakukan melalui negosiasi kolektif untuk memastikan AI mendukung kesejahteraan manusia. ILO juga memberikan pra-kondisi untuk memastikan AI tidak mengancam lapangan kerja. Salah satunya adalah memastikan pekerja memiliki keterampilan digital dan pembelajaran sepanjang hayat agar dapat memanfaatkan AI.

Selain itu, tata kelola AI dalam dunia kerja sangat penting. Perlu ada aturan mengenai penggunaan AI untuk mencegah diskriminasi terhadap tenaga kerja akibat teknologi ini. Studi ILO menunjukkan bahwa kebanyakan pekerjaan dan industri yang terpapar AI mengalami otomatisasi yang lebih melengkapi daripada menggantikan, terutama dengan AI Generatif terbaru seperti ChatGPT. Dampak terbesar AI mungkin bukan pada hilangnya pekerjaan, tetapi pada perubahan kualitas pekerjaan, terutama intensitas dan otonomi kerja.

Di sisi lain, perdebatan tentang hak cipta seni yang dihasilkan oleh AI juga mengemuka. Sebuah keputusan pengadilan di AS Agustus lalu menyatakan bahwa seni yang dihasilkan oleh AI tidak dapat dihakpatenkan. Di kesempatan lain, gugatan tiga seniman terhadap perusahaan AI yang menggunakan karya mereka hampir dibatalkan. Perdebatan ini semakin penting seiring dengan pesatnya evolusi AI. Model AI dilatih dengan mengumpulkan gambar dan karya seni dari internet, seringkali tanpa izin atau kompensasi bagi seniman asli. Praktik ini mengancam mata pencaharian seniman yang bekerja secara independen.

Sebagai contoh kasus di Indonesia, kampanye Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menggunakan desain AI, yang menuai kritik karena tidak menggunakan karya asli seniman lokal. Publik mengecam gaya kampanye ini sebagai bentuk arogansi dan ketidakpedulian terhadap karya anak bangsa.

Beberapa seniman menyuarakan pendapat mereka mengenai AI. Claudia Scimeca dari ARTicipation melihat AI sebagai inspirasi bagi seniman manusia dan peluang kolaborasi yang menarik. Sebaliknya, Stephanie Trenchard merasa dikhianati ketika mengetahui karya favoritnya ditulis oleh AI, meskipun awalnya menganggapnya menarik. Ia khawatir AI bisa menggantikan seniman dan pekerja manusia, yang berbahaya bagi masyarakat dan kemanusiaan.

Kesimpulannya, perkembangan AI dalam ketenagakerjaan dan seni membawa manfaat dan tantangan. Kebijakan ketat dan tata kelola yang baik diperlukan untuk memastikan AI mendukung kesejahteraan manusia tanpa mengorbankan hak-hak pekerja dan seniman.

(Sumber: detik.com, theeagleonline.com, solopos.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline