Lihat ke Halaman Asli

Amul Huzni, Isra Miraj, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

سُبْحَانَ الَّذِى أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِى بَارَكْنَا لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّهُ هُوَالْسَمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Isra 17: 1)

Tahun kesepuluh nubuwah (kenabian) Muhammad SAW merupakan Tahun Kesedihan (Amul Huzna) baginya. Saat itu, Abu Thalib (Paman Rasulullah) menemui ajalnya, tak berselang lama, sekitar dua atau tiga bulan setelahnya, giliran Khadijah binti Khuwailid (Istri Rasulullah SAW) yang menemui ajalnya.

Abu Thalib bukan hanya sekedar paman bagi Rasullullah SAW, beliau selalu berada di garda paling depan dalam membela Rasulullah SAW. Kecintaan Rasulullah terhadap Abu Thalib dijelaskan dalam sebuah kitab Hadits yang ditulis Imam Bukhari, dikatakan bahwa menjelang ajalnya, Abu Thalib didatangi oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW berkata, “Wahai pamanku, katakanlah laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang dengannya aku akan menjadi saksi atasmu di sisi Allah SWT”. Abu Jahal dan Abu Umayyah (yang telah tiba disitu sebelum Rasul), kemudian berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muthalib?”. Rasul terus menawarkan kalimat syahadat bersamaan dengan kedua orang itu yang terus mengulang pertanyaannya, pada akhirnya Abu Thalib tidak mengucap syahadat, kemudian Rasul berkata, “Aku akan tetap memnta ampunan buatmu selama aku tidak dilarang”. Maka turunlah sebuah ayat, yakni QS At-Taubah 9:113 yang melarang Nabi untuk memintakan ampunan bagi orang musyrik.

Khadijah, wanita pertama yang dinikahi Rasulullah SAW. Dalam masa sepuluh tahun menjalani tugas kenabiannya, Rasulullah selalu didukung oleh Khadijah, ia rela membelanjakan seluruh hartanya demi perjuangan suaminya yang tercinta. Kecintaan Rasulullah terhadap Khadijah (dan sebaliknya) tergambar dalam Musnad Imam Ahmad No. 23719: “Allah Azza Wa Jalla tak pernah mengganti untukku yang lebih baik darinya, dia (Khadijah) adalah wanita yang beriman kepadaku di saat manusia kafir kepadaku dan ia membenarkanku di saat manusia mendustakan diriku, dan ia juga menopangku dengan hartanya di saat manusia menutup diri mereka dariku, dan Allah Azza Wa Jalla telah mengaruniakan anak kepadaku dengannya ketika Allah tak mengaruniakan anak kepadaku dengan istri-istri yang lain”.

Setelah wafatnya Abu Thalib dan Khadijah, para punggawa Quraisy semakin memusuhi Rasulullah SAW, mereka bertindak liar bahkan berencana untuk membunuhnya. penderitaan Rasulullah di Mekah begitu hebatnya, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk hijrah ke Thaif. Namun, kedatangan beliau di Thaif justru tidak disambut baik oleh penduduknya, beliau dihina bahkan sampai dilempari batu dan kotoran. Rasulullah SAW memutuskan kembali ke Mekah, pada malam 27 Rajab, Allah Azza Wa Jalla menampakkan kuasa-Nya dengan memperjalankan beliau dengan sebuah kendaraan yang disebut Buraq dari Masjidil Haram (Mekah) menuju Masjidil Aqsha (Palestina), lalu menuju ruang angkasa, langit tujuh tingkat, hingga ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah shalat lima waktu. Perjalanan tersebut dilakukan Rasulullah SAW dalam waktu satu malam, bahkan separuh malam.

Peristiwa Isra Mi’raj bukanlah sebuah peristiwa yang dapat diterima oleh akal, apalagi oleh akal masyarakat Mekah saat itu. Rasulullah sangat memahami bahwa kaumnya takkan mampu melihat (menyadari) keagungan dan kuasa Allah Azza Wa Jalla yang ditunjukkan kepadanya melalui peristiwa Isra Mi’raj.

Pada pagi hari setelah diisra’kan Rasulullah merasa tertekan, ia mengetahui bahwa orang-orang akan mendustakannya, ia pun duduk menyendiri dengan termenung dalam kesedihan. Dalam Musnad Imam Ahmad No. 2860, Ibnu Abbas menceritakan:

“Saat Rasul sedang duduk menyendiri, lewatlah Abu Jahal. Ia bertanya dengan nada mengejek, “Ada sesuatu yang terjadi kepadamu?”, maka Rasul menjawab, “Ya”. Rasul lalu bercerita bahwa ia diisra’kan tadi malam ke Baitul Maqdis, kemudian Abu Jahal bertanya, “Engkau mengaku telah pergi ke Baitul Maqdis (Palestina), kemudian pagi ini engkau telah berada di tengah-tengah kami?”, beliau menjawab, “Ya.”, kemudian Abu Jahal memanggil kaum Rasulullah SAW untuk berkumpul supaya diceritakan oleh Rasulullah SAW perihal peristiwa yang dialaminya. Setelah mereka mendengar cerita tersebut, diantara mereka ada yang bertepuk tangan dan meletakkan tangannya di kepala karena terkesima dan sebagai bentuk pendustaan terhadap Rasulullah.

Salah seorang dari kaum Bani Ka’ab bin Lu’ai yang pernah berkunjung ke Majidil Aqsha berkata, “Jika benar kau telah mengunjungi Masjidil Aqsha, coba tunjukkan kepada kami ciri-ciri masjid itu!”

Rasulullah menjelaskan secara terperinci ciri-ciri Masjidil Aqsha, hingga akhirnya orang yang bertanya itu berkata, “Demi Allah, semua ciri yang dia ceritakan adalah benar!”

Namun, mereka yang menyikapi cerita tersebut dengan logika tetap mendustakannya. Para kafir Quraisy menjadikan Isra Mi’raj sebagai alat untuk menjatuhkan wibawa Rasul. Abu Jahal memprovokasi para muallaf untuk murtad, dan tidak sedikit yang murtad.

Abu Bakar adalah sahabat Rasul pertama yang membenarkan Isra Mi’raj. Ia berkata, “Jika Muhammad SAW berkata seperti itu, sungguh dia telah berkata jujur”. Abu Bakar mempercayai Isra Mi’raj tanpa keraguan sedikitpun, dia berkata, “Sungguh, aku tidak ragu sedikitpun apa yang dikatakan Muhammad. Bahkan lebih daripada itu, aku membenarkannya atas warta-warta langit yang datang pada waktu pagi ataupun sore hari.” (HR Imam Hakim, Al-Mustadrak No. 4407).

Semenjak saat itulah Abu Bakar selalu dipanggil dengan sebutan Ash-Shiddiq (Sang Pembenar). Sikap Abu Bakar yang membenarkan Isra Mi’raj punya pengaruh besar bagi perkembangan Islam di Mekah, dia adalah parameter kepercayaan masyarakat Mekah dalam menyikapi Isra Mi’raj, dia mampu meneguhkan orang-orang yang terguncang iman Islam-nya karena provokasi Abu Jahal dan para kafir Quraisy. Akhir kata, Isra Mi’raj adalah peristiwa yang merupakan konsumsi iman bukan logika, hendaknya kita sebagai muslim bersikap seperti Abu Bakar supaya peristiwa Isra Mi’raj ini memeperkokoh iman Islam kita bukan malahan membuat kita meragukan Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline