Dari sekian banyak yang penulis terlusuri, penyakit kritis di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan lung atau paru-paru masih menjadi kasus yang banyak berkaitan dengan tingkat kesehatan di Indonesia. Secara statistik, sudah menjadi rahasia umum bahwa memang antara 4 dari 10 laki-laki dewasa merokok, di Indonesia memang tingkat merokoknya tinggi. Terlepas dari pro kontra bahwa merokok memang mengganggu atau tidak, terdapat indikasi bahwa penyakit yang berhubungan dengan rokok itu memiliki kecenderungan naik. Dan penulis perhatikan, setiap calon nasabah yang merokok, selalu terdapat nilai premi/kontribusi yang lebih mahal dari yang tak merokok. Memang nilainya bervariasi karena semakin tinggi umur calon nasabah dan perokok, maka kenaikan premi asuransi akan semakin tinggi.
Penyakit kritis yang dianggap berhubungan dengan rokok adalah kanker paru, stroke, jantung kardiovaskuler, dan lain-lain. Data trend dari sekian tahun silam sampai waktu tertentu dan lain-lain yang disebut beberapa website (misal web pemerintah https://m.facebook.com/p2ptmkemenkesRI/photos/yuk-simak-10-penyebab-kematian-tertinggi-di-indonesiaindonesia-telah-menjadi-neg/1254289268050706/) baik lembaga resmi maupun pemerintah, sama-sama menunjukkan adanya trend kenaikan dimana penyakit kritis mengalami kenaikan significant. Kami kira jika pembaca berkenan untuk browsing di berbagai website akan menemukan pola tersebut.
Data dari salah satu perusahaan asuransi mengatakan bahwa 90% dari masyarakat kita tidak siap dengan efek biaya yang ditimbulkan dari penyakit kritis. Pengalaman penulis yang waktu itu mengalami stroke dan jantung kardiovaskuler, hampir 4 tahun silam, jika biaya dibanding dengan katakanlah biaya untuk membeli Pajero Dakkar katakanlah, sama sekali tidak ada apa-apanya. Biaya ini meliputi biaya kesehatan, biaya akomodasi, biaya hidup karena dengan terkena penyakit itu, sempat mengalami kehilangan kemandirian. Belum lagi orang yang sakit kritis bukan saja masalah financial saja, tetapi juga menghadapi masalah-masalah mental.
Dan menurut data, orang yang meninggal di Indonesia selalu mengalami penyakit kritis duluan. Inilah alasan bahwa penyakit kritis menjadi sebab perlu diberikan perlindungan yang memadai.
Ada satu hal yang perlu diperhatikan. Kita mengenal bahwa nilai inflasi di Indonesia terkenal tinggi. Hal yang menyedihkan, ini berdampak pada biaya perawatan. Diperkirakan paling tidak jika satu penyakit kritis katakanlah mencapai 500 jt, silakan hitung dalam 10 tahun mendatang dengan asumsi nilai inflasi dan biaya rumah sakit mencapai 10% maka 500 jt x 1.1^10=1.297M. Angka ini memang mengerikan. Fakta bahwa sekalipun kita bekerja, tidak akan selamanya kita bekerja sehingga suatu saat ketika berhenti menjadi karyawan akan menyulitkan ketika pensiun. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa memang asuransi akan selalu naik biaya premi/kontribusi seiring berjalannya waktu. Hal ini akan anda temui di perusahaan asuransi manapun. Oleh karena itu, selalu menjadi jargon para agen asuransi, saat yang tepat ikut asuransi adalah 'kemarin' namun sayang sudah lewat. Dan ini peringatan buat teman-teman bahwa memang ketika ikut asuransi tidak murah saat mendekati usia pensiun. Dalam hal ini penulis banyak sekali menemukan fakta di lapangan, teman-teman yang semakin berumur menyesal mengapa tidak memulai lebih awal.
Yang menarik, salah satu web membuat perkiraan pemerintah akan mengeluarkan dana kesehatan setelah sekian tahun kemudian. Kita tahu bahwa perawatan adalah komponen terbesar yang membuat nilai premi/kontribusi itu menjadi makin mahal. Kenaikan biaya itu sangat luar biasa dan memungkinkan biaya itu boleh jadi akan dipangkas. Semua hanya perkiraan memang, namun pantas untuk diantisipasi. Warning itu sangat kuat bergema.
Proteksi penyakit kritis kita sudah bahas dalam artikel sebelumnya di https://www.kompasiana.com/adinugroho6124/60922f59d541df2eaf3235f2/bahaya-tak-mengenal-unit-link. Yaitu, jika seseorang katakanlah mengalami penyakit kritis, misal dinyatakan stroke oleh dokter, maka terdapat uang pertanggungan yang akan diterima seorang nasabah. Dan nasabah sama sekali berhak menggunakan dana tersebut untuk kebutuhan pribadinya misal untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya.
Demikian juga jika nilai pertanggungan misal akan digunakan untuk menggantikan pendapatan yang mungkin hilang akibat penyakit kritis. Bagaimana caranya? Perlu diskusi panjang, silakan hubungi kami yang bisa menggunakan telp, media komunikasi seperti zoom, google meet, dan lain-lain. Ingat, tidak ada kata terlambat untuk menyiapkan segala sesuatu di masa depan. Oleh karena itu penulis menyarankan persiapan untuk memberikan perlindungan penyakit kritis dengan berbagai opsi. Hal tersebut bisa didiskusikan bagaimana memilih opsi yang bijak. Kira-kira demikian semoga berguna.
Salam sukses dan sehat selalu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H