Lihat ke Halaman Asli

Adi Nugroho

Editor Buku

Andai Saya Pelajar di Era Merdeka Belajar

Diperbarui: 19 Mei 2023   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merdeka Belajar (Sumber: setkab.go.id)

Salah satu yang paling menyita perhatian saya ketika tahu program Merdeka Belajar adalah soal fleksibilitasnya. Bagaimana murid mendapat kebebasan sejak dini untuk menentukan minat belajarnya.

Menarik? Tentu saja. Apalagi ketika masuk tingkat SMA. Di mana penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa dihapuskan.
Jujur, saya yang mengalami masa SMA di tahun 2000-an awal, merasa masa-masa itu adalah masa yang paling indah. Tentu terlepas dari tugas dan mata pelajaran (mapel) yang berjibun banyaknya.

Bayangkan, saat kelas I SMA (sekarang disebut kelas X), saya yang lemah soal hitung-menghitung ini harus menguasai empat mapel yang mendebarkan sekaligus. Matematika, fisika, dan kimia. Belum lagi akuntansi.

Angka-angka jelas jadi cobaan berat setiap hari. Tak terkecuali aneka rumus dan tabel periodik yang, wow, begitu menguras habis cairan di otak saya. Ada pula neraca, laporan laba rugi, dan lain sebagainya.

Apalagi saat itu, dua bulan penuh di awal tahun ajaran, waktu saya tersita untuk fokus dalam pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) kota. Selama itu, saya jarang masuk kelas. Setiap pagi hingga siang saya harus latihan bersama rekan dari sekolah lainnya dari seantero kota di stadion bola. Hasilnya saat kegiatan itu usai, saya harus mengejar ketertinggalan. Lelah dan penuh tekanan.

Tak mengherankan, nilai saya jeblok. Belum lagi, saya juga aktif di OSIS. Makin ngos-ngosan.

Namun hal itu tak akan terjadi andai saya jadi pelajar di era Merdeka Belajar. Saya bisa menyesuaikan minat saya di bidang seni dan bahasa sekaligus aktif berorganisasi. 

Soal seni, saya paling suka menggambar. Mungkin yang cocok adalah mapel seni rupa. Juga biologi misalnya. Di mana sejak SD saya suka menggambar penampang daun, tengkorak manusia, serta anatomi.

Begitu pula dalam bidang bahasa. Saya akan belajar banyak bahasa di sekolah. Indonesia tentu. Inggris juga. Tapi Jerman dan Jepang pasti tak terlewatkan. Dua bahasa yang ketika masa itu juga dikenalkan oleh guru bahasa Indonesia. Meski sekarang hanya ingat 'ich liebe dich' dan 'konnichiwa' karena tidak ada pendalaman yang serius.

Andai saat itu kurikulumnya sefleksibel sekarang, maka kosakata dan kelancaran bercakap bahasa asing saya bakal lebih dari cukup untuk pelesiran ke luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline