Lihat ke Halaman Asli

Terpaksa Bungkam: Sebuah Renungan Setelah Nonton Film Senyap

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Film Senyap karya Joshua Oppenheimer ini mengambil latar belakang keluarga yang anggota keluarganya dibunuh karena terlibat PKI, yang menjalani kehidupan dengan stigma dan rasa tertekan juga sedih yang luar biasa karna hidup harus berdampingan dengan para eksekutor keluarga mereka

Ketika mendengar film ini saya merasa bahwa ini film akan sangat membosankan yang kalau bagi anak muda sekarang dengan “boring”, namun labelnya sebagai film semi dokumenter sejarah maka saya sangat antusias menonton film ini. Namun karna keterbatasan pengetahuan saya akan film ini saya tidak mengetahui bahwa film ini merupakan sekuel dari film Joshua Oppenheimer sebelumnya yang berjudul “Jagal”.

Film ini dimulai dengan memperlihatkan bagaimana sulitnya hidup para keluarga yang “terlibat” PKI, tapi film ini juga memotret bagaimana kehidupan yang berjalan ini dipaksa untuk berjalan “Normal” karna para pelaku aksi pembasmian PKI ini dilabeli sebagai penyelamat bangsa karna jasanya menghapus jejak PKI di tanah air kita ini. Bahkan merekan sangat bangga dan tidak merasa apa yang mereka lakukan itu adalah sebuah kesalahan, Bahkan mantan presiden SBY mengusulkan sang mertua untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional namun ditolak oleh para anak korban 65 juga Komnas HAM RI dan dibatalkan. Namun bagi para keluarga yang anggota keluarganya terlibat itu sangat menyakitkan karna hampir setiap hari bertemu dan tahu siapa sang eksekutor (baca:jagal) anggota keluarganya dibunuh dengan perlakuan yang disebut oleh Soe Hok Gie adalah “perlakuan yang tidak pantas bagi orang yang mengaku betuhan”.

Kebungkaman karna ketakutan akan perlakuan yang sama akan diterima oleh mereka yang ditinggalkan, namun ditengah kebungkaman itu pastilah kadang terlintas rasa frustasi, putus asa, kebencian dan sebagainya didalam hati mereka. Stigma dan Propaganda yang sangat gencar oleh Orde Baru sangat sukses bahkan kalau kita mau jujur pada diri kita sendiri maka setiap kita mendengar kata-kata Komunisme bahkan PKI maka stigma yang muncul dalam pikiran kita itu adalah kejahatan yang luar biasa. Namun pernahkah kita bertadabbur bahwa apakah yang mereka “lakukan” di tragedy G30S itu sudah mendapatkan keadilan yang memang adil atau hanyalah kebencian yang ditanamkan didalam hati dan pikiran kita.

Film Senyap mengambil tempat disalah satu desa di Deli Serdang ini sangat sukses memberikan gambaran yang lain (yang kalau kata Filsuf Foucault itu adalah Sub Versi) dari apa yang dulu diwajibkan menonton oleh pemerintah. Kita tidak pernah mau melihat apa yang dirasakan oleh mereka yang dirugikan selama ini atas kejadian G30S siapapun itu.

Banyak orang yang mengangkat ini yang disebut sebagai bagian sejarah paling kelam dalam sejarah Indonesia namun sering ditolak dengan sebutan Antek PKI, Tidak Bertuhan dan lain-lain. Yang jelas seakan-akan kejadian ini akan dibiarkan bahkan dikubur dalam-dalam bahkan kalau bisa dilupakan saja, namun Komnas HAM RI tahun ini membuat langkah luar biasa pada tanggal 10 Desember 2014 yang diperingati sebagai hari HAM Internasional itu sebagai start program Indonesia Menonton Senyap. Atas apa yang dilakukan oleh Komnas HAM ini kita patut berterima kasih karna mereka masih mau melihat apa yang saya sebut sebagai salah satu tindakan paling “brutal” .Namun kita perlu ingat bahwa kita membuka lembaran ini hanyalah mencari keadilan bukan untuk membenarkan apa yang salah dan menyalahkan apa yang benar.

Selamat #NONTONSENYAP




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline