Lihat ke Halaman Asli

Bukan TKA, tapi Pekerja Lintas Batas

Diperbarui: 1 Februari 2017   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini kita ramai mengenai serbuan TKA yang bekerja secara ilegal di Indonesia. Tapi tidak hanya di Indonesia, isu seperti ini, di Amerika Serikat dan Inggris Raya berhasil menjadi komoditas politik dan dimainkan untuk  memenangkan pemilu dan perubahan kebijakan. Salah satu sebab utama Inggris Raya keluar dari Uni Eropa adalah untuk menutup perbatasaanya dari para pekerja asing.


Tidak tanggung-tanggung, sebuah angka yang sangat fantastis dikeluarkan untuk semakin memperbesar informasi ini; 10 juta TKA asal Cina yang telah berada dan bekerja di Indonesia. Namun angka ini disangkal oleh pihak Kementrian Tenaga Kerja yang mengatakan bahwa; "khusus dari Cina ada 21.271, mereka adalah yang mengajukan perizinannya". Tanpa berpolemik lebih panjang mengenai angka tulisan ini ingin mengulas mengenai pekerja asing dari sudut yang berbeda.

Pekerja Asing adalah juga kelas buruh, namun mempunyai posisi yang lebih lemah dibandingkan kaum buruh umumnya di dalam negeri. Karena posisi yang lemah tersebut, mereka mengalami kebrutalan eksploitasi yang bertubi-tubi. Pertama mereka terlempar dari pasar kerja dalam negerinya sehingga harus pergi jauh untuk mendapatkan pekerjaan, kedua karena berada diluar negerinya mereka tidak terlindungi dan tidak ada jaminan kepastian bekerja terutama pekerja yang undocumented, bahkan sama sekali tidak mendapatkan hak-hak sipil dan politik seperti berorganisasi, menyampaikan pendapat dan menuntut hak yg lebih tinggi. Ketiga, secara sosial mereka mengalami kesulitan beradaptasi karena kedunguan prasangka rasial yang tumbuh mengakar dalam masyarakat berkelas. Pada kondisi tertentu mereka seringkali mengalami intimidasi dan penyiksaan fisik diluar batas rasa kemanusiaan.

Mobilisasi pekerja migran adalah sebuah hal yang tak terbantahkan, pergerakan manusia lintas batas yang sangat dinamis sedang berlangsung di depan mata kita. Mobilisasi ini mengikuti arah angin kemana modal mengalir, yang menjadi sumber pemusatan indusutri baru. Hal yang demikian sesungguhnya sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Dahulu, kapal-kapal besar membawa ribuan orang (yang disebut sebagai budak) Afrika menuju Amerika. Ketika pembukaan lahan perkebunan di Sumatra orang orang Cina di datangkan oleh VOC untuk menjadi buruh penggarap. Di Malaysia ketika pembukaan tambang-tambang Timah oleh Inggris orang-orang India didatangkan begitu banyaknya dan menetap hingga saat ini.

Mengalirnya modal tersebut telah melahirkan industri di satu negara seperti Indonesia. Industri modern ini baik di pabrik maupun industri ekstraktif di pertambangan dan bahkan pembangunan infrastruktur membutuhkan massa kaum buruh yang besar yang diorganisir seperti serdadu dibawah struktur yang rapi dari komando para atasan dan mandor-mandor. Para buruh ini didatangkan dari seluruh pelosok negeri bahkan dari negeri yang jauh di seberang lautan, hanya untuk menjadi tentara industri yang patuh. 

Para buruh ini setiap hari dan setiap jam diperbudak oleh mesin-mesin, oleh mandor-mandor, dan terutama sekali oleh para pemilik modal itu sendiri yang juga datang dari luar. Para pekerja asing ilegal ini adalah massa yang patuh walaupun dengan kondisi kerja yang sangat parah. Tengok saja mereka yang kemarin tertangkap di Bogor bekerja di sektor tambang dan hidup dalam satu rumah yg terisolasi dari dunia luar. Atau contoh lain yang lebih mengenaskan adalah ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal penangkap ikan tuna di lepas pantai Taiwan, mereka bekerja 20 jam sehari, upah yang rendah dan sering mengalami penyiksaan fisik bahkan ada yang meregang nyawa karena sadisnya penyiksaan yang diterima.

Situasi semacam ini seperti sengaja dimunculkan untuk dipertentangkan, pekerja lokal berhadapan dengan pekerja asing. Dikabarkan bahwa pekerja asing merebut pekerjaan pekerja lokal dan akan menurunkan tingkat upah.  Benarkah demikian, menurut penelitian dari London School of Economics, tingkat upah yang rendah dan penganguran itu lebih disebabkan oleh para pemilik modal yang menginginkan nilai upah tetap rendah dan pengangguran disebabkan karena pemilik modal melakukan efisiensi karena krisis maupun resesi ekonomi.


Para pekerja berhak memporoleh dan bekerja dimanapun ia inginkan. Ini seharusnya menjadi prinsip yang kita perjuangkan bersama. Adalah sangat keji untuk mengatakan bahwa ini tanah kami, di tanah ini kalian orang asing terlarang berada dan bekerja disini. Sementara para pemilik modal setiap hari menggerogoti batas-batas nasional akibat adanya ekspansi kapital, perdagangan, dan perkembangan pasar global. Oleh karenanya kita tidak dapat lagi hidup dengan sistem pertalian lama yang didasarkan atas hubungan kekerabatan yang lama pula. Menjadi buruh dengan sendirinya ia akan terlempar dari bangunan masyarakat lama tersebut, dari segala macam sekat kesukuan dan bahkan menghilangkan watak nasionalnya yang sempit. Ia diupah bukan untuk mencintai negaranya tapi untuk melanjutkan syarat hidupnya. Mereka bukan pekerja asing tapi pekerja lintas batas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline