Saya jadi gak abis pikir ketika membaca dan mencermati omongan dan komentar-komentar dari para pejabat MA di media online akhir-akhir ini. setahu saya MA itu institusi negara tempat berkumpul orang-orang yang sangat ahli di bidang hukum, tapi kok omongannya ga jauh beda dengan omongan tukang ojek dan tukang parkir dalam obrolan di warung kopi.
Berita tentang MA mulai ramai ketika Hakim Agung Prof. Gayus mengkritik transparansi anggaran. kritik ini bukannya di jawab dengan data dan fakta, tetapi malah direspon dengan omongan-omongan yang lebih bernuasa otot daripada otak. alih-alih menerima kritik sebagai sarana instropeksi terhadap institusinya, para pejabat ini malah memilih menonjolkan emosinya yang sebenarnya justru semakin menunjukkan kenaifan dan kekolotannya. seolah-olah institusi MA kita ini seperti institusi negara di masa lalu, masa beberapa puluh tahun yang lalu.
Salah satu contoh kenaifan itu adalah ketika ada pernyataan tentang meja seharga 1 milyar di ruangan kerja sekretaris MA yang berasal dari sumbangan pribadi sang sekretaris. setahu saya dalam alam demokrasi sekarang ini, di dalam republik Indonesia tercinta ini yang telah merdeka 67 tahun yang lalu ini, sudah sangat sering didengungkan dan ditekankan tentang suatu mahluk yang bernama "corporate good governance".
dalam konteks negara demokrasi, semua kegiatan dan kebutuhan dari setiap lembaga negara dipenuhi oleh negara melalui mekanisme APBN. persoalan darimana asal dana anggaran untuk lembaga negara tersebut itu sama sekali bukan urusan MA, melainkan urusan kementerian Keuangan yang bisa berasal dari pendapatan negara dari pajak maupun berasal dari hutang atau bisa saja berasal dari hibah dari negara lain atau institusi internasional non pemerintah.
Walaupun dikatakan bahwa sang sekretaris adalah orang yang cukup berada secara ekonomi karena mempunyai usaha sarang burung walet, sehingga telah banyak menyumbang untuk institusinya. Tetapi praktik-praktik tersebut sangat tidak sesuai dengan norma-norma dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Apalagi yang bersangkutan adalah pegawai MA, yang sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Kalaupun memang yang bersangkutan kaya raya dan ingin menyumbang institusinya, mekanismenya adalah melalui pelaksanaan kewajiban perpajakan. jadi kontribusinya tidak langsung ke MA, tetapi melalui mekanisme pembayaran pajak atas semua penghasilannya yang masuk ke kas negara, baru kemudian didistribusikan kembali ke institusinya melalui mekanisme APBN. jadi tidak ada istilah "hutang budi" atau "sudah banyak berjasa" seperti kata kolega sang sekretaris.
Oleh karenanya, MA sebagai institusi pun tidak perlu merasa hutang budi kepada pegawainya. hubungan pegawai dan institusi adalah hubungan profesional semata. pegawai melaksanakan tugas dan kewajibannya, MA memberikan kompensasinya berupa gaji dan tunjangan sesuai ketentuan, tidak lebih dan tidak kurang.
Kembali ke soal kekayaan pribadi, setelah ditelusuri lebih lanjut oleh media, ternyata sang sekretaris belum melaporkan LHKPN ke KPK. ini adalah bentuk kekonyolan lainnya. padahal sesuai ketentuan itu adalah kewajiban setiap penyelenggara negara sebagaimana dikemukakan oleh Bambang Wijayanto, wakil ketua KPK.
Ironis sekali disaat institusi negara yang lain berlomba untuk menuju transparansi, beberapa pejabat MA malah seolah-olah begitu alergi dengan yang namanya transparansi. sebagai gambaran, di Direktorat Jenderal Pajak, PNS yang golongan 2 pun yang menduduki jabatan bendahara, account representative dan fungsional pemeriksa sudah diwajibkan LHKPN. bandingkan dengan MA, yang menurut salah satu pejabatnya, LHKPN adalah masalah pribadi, meskipun menyangkut seorang pejabat eselon satu.
"Apa kata dunia??..." teriak Nagabonar, seorang Jenderal yang mantan copet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H