Para wakil rakyat yang menduduki kursi pemerintahan di Senayan, Jakarta kembali menjadi sorotan publik. Hal ini bukan dikarenakan para anggota DPR berulah kembali, seperti kedapatan asyik bermain gawai dan tidur saat rapat, 'plesir' ke luar negeri dengan dalih tugas negara, atau bahkan terjerat kasus korupsi atau Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bukan beberapa hal itu, tetapi karena DPR memunculkan kebijakan baru dalam pengesahan revisi Undang-Undang No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau yang lebih dikenal sebagai UU MD3 yang disahkan tepat pada 12 Februari 2018.
Meskipun sudah disahkan oleh dewan rakyat yang terhormat, kebijakan baru ini justru menuai banyak kecaman dari masyarakat. Bagaimana tidak, kecaman ini pun bukan tanpa alasan, tetapi dikarenakan masyarakat merasa resah dan geram terhadap pengesahan revisi UU MD3.
Beberapa pasal di dalam Undang-Undang tersebut, justru dinilai tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan prinsip Indonesia sebagai negara hukum. Kebebasan berpendapat yang sudah melekat pada identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi pun kembali dipertanyakan dengan kemunculan revisi UU MD3. Masyarakat menjadi terbatasi dalam beraspirasi maupun bersikap kritis terhadap kinerja pemerintahan. Hal ini pun dianggap mengancam proses demokratisasi di Indonesia, bahkan telah mencederai demokrasi di Indonesia.
Ada tiga pasal yang menjadi sorotan publik karena banyaknya pihak yang merasa terusik oleh kemunculan revisi UU MD3 ini.
Pertama, pasal 122 K yang menyatakan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Pasal ini dinilai multitafsir dan membungkam pendapat masyarakat dalam mengkritisi kinerja para anggota dewan.
Ruang gerak masyarakat dalam bersikap kritis dengan mengaspirasikan pendapatnya pun semakin dibatasi. Tidak hanya itu saja, pasal ini pun membatasi kebebasan pers yang seakan terpasung oleh aturan yang baru. Pers tidak lagi dapat menilai, mengkritisi dan menyampaikan informasi mengenai kondisi yang terjadi di ranah pemerintahan, khususnya DPR secara terbuka dan transparan.
Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan salah satu pasal di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pasal 28 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Masyarakat pun sangat dirugikan karena hak mereka atas kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan oleh berbagai pihak di era reformasi pun seakan kembali terbatasi.
Kedua, pasal 245 yang menyatakan bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum. Pasal ini juga dinilai banyak menuai reaksi keras dari masyarakat. Mengingat sudah berapa banyak kasus korupsi yang menjerat para anggota dewan selama beberapa tahun ini. Terlebih lagi dari beberapa survei menyatakan bahwa DPR merupakan lembaga terkorup di Indonesia. Pasal ini pun dirasa terkesan menjadi penghalang atau pelindung atas pengungkapan berbagai kasus yang menjerat para anggota dewan, sehingga menghambat proses hukum yang berlaku.
Kemudian yang ketiga, pasal 73 yang menyatakan bahwa kewenangan DPR dengan bantuan polisi untuk memanggil paksa siapa saja yang enggan datang saat dipanggil DPR. Bahkan, pihak kepolisian diperbolehkan menyandera orang-orang yang tidak mau datang ke DPR selama 30 hari. Sama halnya dengan kedua pasal sebelumnya yang menuai begitu banyak kecaman dari masyarakat, pasal ini terkesan membuat para anggota dewan cenderung memaksa dan mengatur pihak yang berwajib untuk mengikuti keinginan mereka. Dengan demikian, para anggota dewan menjadi terpecah fokusnya dalam menjalankan tugas sesuai bidangnya sebagai pembuat, pengawas dan pengontrol undang-undang terkait kinerja pemerintah.
Jelas dalam ketiga pasal tersebut terdapat hal yang ganjil, di mana seolah DPR tidak mau untuk dikritisi. Sangat ironis bukan? Ketika mereka selalu mengelukan diri mereka sebagai wakil rakyat yang seharusnya mendengarkan dan menyalurkan aspirasi rakyat, bahkan siap menerima kritik tetapi kini mereka justru terkesan tidak mau mempedulikan suara rakyat. Terlebih lagi, aturan ini berlaku untuk semua pihak, tidak terkecuali pers. Padahal pers merupakan sarana bagi rakyat untuk beraspirasi serta mengetahui kondisi berbagai aspek di negaranya. Lalu bagaimana aspirasi rakyat dapat disalurkan apabila pers pun ikut dibungkam?
Ketua DPR, Bambang Soesatyo pun telah menanggapi hal ini dengan memberikan jaminan bahwa kebebasan pers dapat tetap berjalan sebagaimana mestinya di DPR. Selain itu, Bambang Soesatyo juga yakin bahwa pers dapat membedakan antara kritik, ujaran kebencian, dan penghinaan sehingga pers tidak akan terseret hukum dalam UU MD3. Namun tetap saja, pernyataan Ketua DPR tersebut seolah hanya ucapan manis belaka untuk melindungi kehormatan dan menutupi fakta dibalik topeng para anggota dewan.