Keberagaman karya sastra yang semakin eksis di tengah masyarakat, tidak dapat terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi karya tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Berbagai poin penting dalam karya sastra menjadi nilai utama yang menarik perhatian masyarakat, baik dari unsur intrinsik maupun ektrinsik, terutama yang berkaitan dengan isi dari karya sastra tersebut. Isi dari sebuah karya sastra tidak terlepas dari unsur penggunaan bahasa yang beraneka ragam dari para penulis.
Pada survei yang dilakukan melalui media daring, 80 persen masyarakat setuju bahwa gaya bahasa suatu karya sastra mempengaruhi presentase diterimanya karya tersebut di masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa pemilihan gaya bahasa yang baik dan benar harus diperhatikan oleh para penulis karya sastra.
Setiap penulis tentu memiliki ciri khas gaya bahasa kepenulisan yang berbeda-beda, dan hal ini juga ditentukan berdasarkan pengalaman atau bendahara kata yang dikuasai. Seperti yang diungkapkan oleh Keraf (2009) yang menyatakan gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa.
Beberapa penulis kerap kali menggunakan gaya bahasa yang ringan dan mudah dipahami, dengan tujuan agar pembaca tidak salah paham dan mudah menangkap maksud yang ingin disampaikan penulis. Seperti yang dilakukan oleh penulis muda dengan nama pena, Pie. Dirinya sengaja memilih gaya bahasa yang ringan dalam setiap karya-karyanya agar mudah dimengerti oleh pembaca.
Sedangkan, tidak sedikit pula para penulis yang gemar menggunakan gaya bahasa yang sedikit rumit atau biasa kita kenal dengan bahasa kiasan. Bahasa kiasan adalah teknik penyampaian bahasa yang maknanya tidak menunjukkan pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya tetapi pada makna yang tersirat. Ketidaklangsungan makna inilah yang merupakan salah satu siasat penulis untuk menarik perhatian pembaca. (Nurgiyantoro, 2005).
Penulis novel "A Little More Diary", Pie, juga pernah menggunakan bahasa kiasan dalam karya-karyanya. Namun, ia menganggap bahwa pemakaian gaya bahasa ini akan menyulitkan para pembaca, terutama dalam menangkap isi dari karya sastra tersebut. Menurutnya, gaya bahasa kiasan hanya akan dimengerti oleh mereka yang memang mendalami tentang Bahasa Indonesia dan Sastra.
Bahasa kiasan bukan lagi bahasa yang asing bagi mereka yang mendalami sastra atau Bahasa Indonesia. Sebuah karya yang menggunakan bahasa kiasan, seakan memberikan tantangan bagi para pembaca untuk mengartikan maksud Si Penulis ke dalam konteks yang luas. Bahasa kiasan memang tidak secara langsung menyampaikan arti yang sebenarnya, dan bisa diartikan ke dalam kategori yang berbeda-beda. Biasanya jenis bahasa ini digunakan untuk memberikan nilai keindahan.
Salah satu novel yang menggunakan lebih banyak bahasa kiasan di dalamnya adalah novel terjemahan karya Khaled Hosseini, yang berjudul Sang Pengejar Layang-Layang (The Kite Runner). Di dalam novel tersebut, dipenuhi dengan gaya bahasa kiasan jenis personifikasi. Contohnya pada kata, layang-layang itu mulai bertingkah, layang-layang itu tampak ragu, yang secara garis besar memiliki makna yang sama.
Namun, karena bahasa yang digunakan berbeda dari biasanya, maka hal tersebut akan memberikan nilai estetika yang besar, serta memberikan tantangan pada para pembaca untuk lebih berimajinasi saat membaca novel tersebut. Seperti yang dikatakan Rahmad Djoko Pradopo (2010:74) bahwa sebuah personifikasi mampu membuat hidup sebuah lukisan, memberikan kejelasan, serta mampu memberikan gambaran bayangan angan yang konkret.
Gaya bahasa pada umumnya ditentukan pada jenis karya sastra tertentu. Pada karya sastra puisi atau sajak, penggunaan gaya bahasa kiasan dianggap membawa kesan yang indah, imajinatif, serta mampu mengaduk perasaan pembaca. Sedangkan, pada karya sastra novel, penggunaan gaya bahasa kiasan masih dianggap kurang efektif, terlebih untuk masyarakat awam yang secara umum kurang dalam pembendaharaan kata dan bahasa.
Pada hasil survei yang sama, ada sekitar 60% masyarakat kisaran usia 20 tahun, berpendapat bahwa gaya bahasa dalam karya sastra mampu mempengaruhi minat baca di tengah masyarakat. Beberapa beranggapan bahwa gaya bahasa yang ringan dan sederhana lebih menarik karena mudah dipahami isinya, sedangkan sisanya mengatakan bahwa penggunaan bahasa kiasan dapat menarik pembaca untuk belajar mengenai keanekaragaman bahasa dan kata dalam Bahasa Indonesia.