Lihat ke Halaman Asli

Faktor Penghambat Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Diperbarui: 12 April 2022   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Canva

Berbicara mengenai perempuan adalah sebuah keharusan bagi kita sebagai manusia sosial. Permasalahan mengenai tidak setaranya perempuan dan laki-laki masih menjadi persoalan yang hingga saat ini belum kunjung usai. Dalam tulisan ini akan berfokus kepada apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat keterwakilan perempuan di parlemen?. Dengan tujuan analisis untuk mengetahui faktor penghambat keterwakilan perempuan di parlemen. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) menjelaskan bahwa hingga saat ini ketimpangan perempuan dan laki-laki masih terjadi. Hal tersebut dibuktikan melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2019 yang menunjukan bahwa IPM perempuan lebih kecil (69,18) dibandingkan dengan IPM laki-laki (75,96). Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengemukakan melalui data yang ada pada tahun 2021 IPM perempuan (69,59) dan IPM laki-laki (76,25). Di Jawa Barat tahun 2021, IPM perempuan (68,50) dan IPM laki-laki (76,66). IPM perempuan terendah di Jawa Barat ada di wilayah Bandung Barat dengan IPM perempuan (58,12) dan IPM laki-laki (73,50). 

Mengapa IPM dapat dijadikan standar data untuk melihat indikasi ketimpangan antara perempuan dan laki-laki? IPM merupakan gambaran mengenai bagaimana masyarakat dapat mengakses hasil pembangunan dalam mendapatkan pendapatan, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat tiga dimensi dasar IPM, yakni umur panjang dan hidup sehat; pengetahuan; dan standar hidup yang layak. Oleh karena itu, IPM merupakan salah satu gambaran yang dapat memberikan hasil terhadap tingkat kualitas hidup masyarakat. Dari tingkat IPM 2019 dan 2021 dapat disimpulkan bahwa ketimpangan antara perempuan dan laki-laki masih terjadi.  Lantas bagaimana keterwakilan perempuan dalam bidang politik? Penerapan kebijakan 30% di parlemen bagi perempuan tidak dapat dipastikan menambah keterwakilan perempuan dan pro perempuan. Tahun 1999 hingga 2019 kemarin, keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai 30%. Padahal perlu kita sadar bahwa keterwakilan perempuan di parlemen sangat dibutuhkan agar segala kebijakan yang dibuat dapat mencakup kepentingan-kepentingan perempuan di dalamnya. Dikarenakan jika tingkat dominasi laki-laki di parlemen tinggi akan sulit bagi mereka untuk memahami mengenai kepentingan-kepentingan perempuan. 

Survei Inter-Parliamentary Union (IPU) pada tahun 2022 menunjukan bahwa Indonesia berada pada tingkat 105 mengenai jumlah keterwakilan perempuan 21,5%. Negara-negara lain seperti Kuba, Nikragua, Emirat Arab, Rwanda dan Meksiko memiliki jumlah keterwakilan perempuan lebih tinggi, yakni di atas angka 50%. Walaupun sejak 1999 hingga 2019 mengalami peningkatan, keterwakilan perempuan di parlemen masih belum memenuhi kuota 30%. Dikutip dari laman DPR RI, jumlah keterwakilan perempuan 2019 -- 2024 mencapai 20,5% atau 118 anggota dari 575 anggota terpilih. Pada tingkatan provinsi, peneliti menggunakan data DPRD Provinsi Jawa Barat yang menunjukan bahwa keterwakilan perempuan tahun 2019 19,2% atau 24 orang dan 2021 terdapat 26 orang. Tingkatan kota/kabupaten mengambil sampel keterwakilan perempuan di DPRD Kota Bandung dengan jumlah perempuan sebanyak 8 orang dari 42 orang anggota dewan laki-laki yang terpilih. Dari data-data sebelumnya dapat dikatakan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen masih belum memenuhi kuota 30%.

Faktor-faktor yang penghambat keterwakilan perempuan di parlemen, yakni budaya patriarki dan partai politik. Faktor penyebab tidak adanya kesetaraan atau kedudukan perempuan dan laki-laki dipicu oleh budaya patriarki yang masih melekat di masyarakat. Namun, seiring perkembangan zaman, sebagian masyarakat sudah memahami bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki sama. Rokhmansyah (2013) mendefinisikan bahwa patriarki memposisikan kedudukan laki-laki yang paling tinggi, berkuasa, sentral dan segalanya. Dominasi patriarki yang melekat di masyarakat akan menjadi budaya atau kebiasaan. Semakin melekatnya budaya patriarki di masyarakat, akan semakin tinggi diskriminasi terhadap perempuan. Hal tersebut membuat perempuan berada pada tingkatan inferior dibandingkan laki-laki terutama dalam dunia politik. Masyarakat awam akan tetap menilai bahwa perempuan tidak layak menjadi seorang wakil di parlemen. Mereka akan banyak menilai bahwa laki-laki yang harus menjadi pemimpin. Dikarenakan adanya stigma-stigma tersebut membuat perempuan sulit untuk masuk dalam dunia politik. Stigma-stigma yang muncul menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan. Masyarakat yang masih mengadopsi budaya patriarki dalam kehidupannya akan meragukan kualitas perempuan dan tidak akan memberikan perempuan hak yang sama dengan laki-laki. 

Faktor kedua adalah partai politik. Partai politik seharusnya dapat berperan penting dalam meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen. Kuota 30% sering sekali hanya dijadikan sebuah syarat untuk bisa mengikuti pemilu oleh partai politik. Mungkin saja budaya patriarki dalam partai juga tumbuh terutama bagi partai yang mengutamakan ideologi religius. Peran laki-laki sebagai pemimpin justru prioritas utama. Lagi-lagi kualitas perempuan untuk menjadi wakil dan pemimpin di parlemen masih sering diragukan dalam tubuh partai politik. Seharusnya partai politik dapat meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen, dikarenakan para calon wakil tumbuh di sebuah partai politik. Partai politik harus menyadari bahwa parpol adalah hulu dalam meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline