Lihat ke Halaman Asli

Aku Akan Menjadi Ibu Yang Sebenarnya

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13761418972134845952

Dengan kereta malam kupulang sendiri Mengikuti rasa rindu Pada kampung halamanku Pada ayah yang menunggu Pada ibu yang mengasihiku

Duduk dihadapanku seorang ibu Dengan wajah sendu, sendu kelabu Penuh rasa haru ia menatapku Penuh rasa haru ia menatapku Seakan ingin memeluk diriku

Ia lalu bercerita tentang Anak gadisnya yang telah tiada Karena sakit dan tak terobati Yang wajahnya mirip denganku Yang wajahnya mirip denganku

Dududuuu... dudududududuuu...

(Syair lagu “Kereta Malam” oleh Franky & Jane)

Egoku yang saat itu sedang tinggi-tingginya karena terbakar amarah dengan sikap anak gadisku yang malam itu membantah sengit keinginanku terasa berangsur melunak begitu sayup-sayup aku mendengar alunan lagu yang sedih dan mengharukan di atas. Meski aku kurang begitu menyukainya, namun suamiku acapkali memutar lagu-lagu penyanyi lagendaris Franky Sahilatua dan Jane adiknya yang menjadi kesenangannya termasuk lagu “Kereta Malam” itu. Kali ini lagu yang diputar dari laptop suamiku itu telah berhasil menyentuh jiwaku yang sedang mengalami emosi tinggi.

Keinginanku agar anak gadisku ini tidak meninggalkan sekalipun sholat lima waktu, membereskan sendiri kamarnya yang selalu berantakan, mencuci dan menjemur bajunya sendiri, menemaniku belanja ke pasar, membantuku memasak, jangan memakai pakaian ketat atau membuka aurat, tidak pulang larut malam, tidak terlambat kuliah, dan sikap-sikap serta perilaku dia lainnya yang kerap membuatku kesal, ngomel, marah dan berteriak dengan nada keras... seringkali tidak dihiraukannya bahkan ia melontarkan argumen-argumen yang membuatku semakin naik darah, seperti “Siapa yang suruh aku pindah ke kota yang sepi ini!”, “Aku gak punya temen di sini!”, “Aku pengen sekolah di Indonesia aja!”.

Sikap anak gadisku yang keras ini memang sudah nampak sejak kecil, namun semakin menjadi-jadi setelah dipicu oleh keputusanku dan suamiku untuk membawa anak-anak pindah ke luar negeri untuk mendampingiku melanjutkan studi di sana. Anak gadisku yang SMA dan anak lelakiku yang SMP yang semula menolak ikut, dengan mempertimbangkan banyak hal akhirnya kami paksa untuk ikut serta. Penolakan dari anak lelakiku tidak seberapa sehingga masih bisa diyakinkan meski masih menggerutu. Sementara penolakan dari anak gadisku begitu keras dan telah mengganggu karena menimbulkan suasana yang tidak nyaman. Aku dan suamiku bisa mengerti, karena di masa remajanya yang indah dan ceria ia harus meninggalkan banyak teman-temannya termasuk pacarnya yang akhirnya terpaksa diputuskan. Hal ini mungkin telah sangat melukainya, sehingga ia terus-menerus menunjukkan sikap penolakannya yang sangat merepotkan aku dan suamiku.

Sikap dan perilaku anakku yang demikian sangat membuatku kecewa sekaligus tertantang, mengapa tidak? Ini tidak lain karena hal ini terasa ironis mengingat statusku sebagai pendidik (dosen) sekaligus sebagai psikolog yang katanya mampu membantu murid, mahasiswa, karyawan atau orang lain dalam menyelesaikan permasalahan mereka. Berbagai upaya telah aku lakukan bersama suamiku baik yang sifatnya lembut seperti memenuhi hampir setiap keinginannya seperti membeli sesuatu yang mahal atau mengongkosi pergi ke luar kota dengan teman-temannya; ataupun yang sifatnya tegas dan keras seperti membentak keras hingga ia menangis berhari-hari. Namun semua yang dilakukan tidak merubah sikap dan perilakunya secara permanen sebagaimana yang aku dan suamiku inginkan darinya. Bahkan begitu sengitnya kami beradu mulut, aku sampai menampar mulut/mukanya yang telah begitu kasar mengucapkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan seorang anak kepada ibunya. Walaupun tidak terucap, reaksiku pun menjadi sudah tidak pantas untuk dipikirkan seorang ibu terhadap anak perempuannya yaitu “Aku menyesal telah melahirkannya!”. Astagfirullaahal ‘Azhiim...

Mendengar syair lagu di atas dan mencoba menghayati perasaan yang dialami seorang ibu yang ditinggal mati anak gadisnya karena sakit yang tidak sempat terobati, sungguh telah membuatku terhenyak dan tersadar bahwa betapa berharganya dan tingginya nilai seorang anak gadis di mata ibu yang telah susah payah mengandung dan menyabung nyawa saat melahirkannya, meskipun anak tersebut telah mengecewakan dan menyakiti hatinya. Karena apabila sang ibu ditinggal mati anaknya tersebut maka ia malah tidak akan mendapatkan apa-apa selain kesedihan mendalam yang bahkan terbawa disepanjang hayatnya, terlebih saat bertemu dengan anak perempuan yang memiliki kemiripan dengan anak gadisnya yang telah tiada tersebut.

Mulai saat ini aku ingin menjadi ibu yang sebenarnya bagi anakku. Akan kupeluk dan kurangkul anak gadisku yang keras ini dengan kelembutan dan kasih sayang yang mendalam sebagaimana aku menimangnya saat ia masih bayi. Bila ia membantahku dan menunjukkan kekerasan hatinya, aku akan menganggapnya seperti ia mulai membantahku saat ia masih anak-anak yang mulai memiliki pendapat sendiri sehingga aku seharusnya merasa bangga dengan kepintarannya. Bila ia melontarkan kata-kata yang kasar kepadaku, dengan kesabaran penuh aku akan mendengarkannya dan menganggapnya seakan ia sedang mulai belajar bernyanyi saat kecil dulu sehingga membuatku antusias dan gembira. Semua tindakan yang akan aku lakukan terhadap anak gadisku yang tercinta ini akan selalu aku sertai dengan doa kepada Allah sebagai pemiliknya. Ya aku tidak boleh lupa bahwa semua ini adalah titipan Allah dan harus mengembalikannya...

Terima kasih Franky & Jane, dengan lagumu “Kereta Malam” aku akan menjadi ibu yang sebenarnya bagi anakku!

Darwin, 10 Agustus 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline